#4 : Gandhie, Asisten Wali

Namanya tak pernah muncul di media massa. Fotonya tak pernah tayang di media sosial manapun. Tapi kiprahnya meraja lela disetiap event Maiyah di seluruh Nusantara, bahkan dunia.

Pekerjaannya memastikan Mbah Nun tidak kapiran. Rokok, kopi, makan dan jadwal aktivitas. Selain itu jadi benteng utama kalau ada apa-apa. Benteng kokoh yang susah ditembus.

Kemampuannya mengorganizer adalah nomor satu. Kerja dibelakang panggung jagonya. Media online Maiyah secara resmi dia yang pegang. Online dan oncall 24 jam. Siap merapat kemana ada event Maiyah jika itu memang tugas.

Totalitasmu sungguh.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

#3 : Muhaimin, Dari Nderes Sampai Juragan

Pria berkumis tebal ini selalu menebarkan senyum ke siapa saja. Wajahnya ceria, seperti tidak ada beban hidup. Tentu bukan karena tidak perduli akan hidup, bahkan dia harus menghidupi setengah lusin anaknya dari perguruan tinggi sampai masih TK. Belum adik-adik.dan tetangga dekatnya yang ikut sambung hidup dengan usahanya.

Tapi karena falsafah hidupnya yang jelas, rejeki tidak akan pernah tertukar.

Kerja keras siang malam, berhubungan baik dengan semua stake holder, tidak pernah punya musuh, melayani sepenuh hati setiap pelanggannya merupakan usaha lahirnya selama ini. Saya tahu, dari 2009 kami berkenalan hingga saat ini berlipat kejadian peningkatan hidupnya. Bukan omong kosong, tapi memang luar biasa usahanya.

Pak Muhaimin pernah menderes pohon kelapa belasan tahun. Kini sudah jadi juragan gula jawa. Namun hidupnya masih sederhana, senyum dan sapa ke siapa saja, tak pernah punya musuh, dan melayani total kepada pelanggannya.

Contoh yang baik untuk jadi pengusaha, landasan keyakinannya tentang rejeki, bahwa semua ketepatan rejeki tidak akan tertukar.

Ah, Pak Muhaimin saya selalu betah ngopi dirumahmu... Ngobrol ngalor ngidul...Tapi selalu jelas akhirnya...


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

#2 : Suparmin, Pak RT Kemana Saja

Namanya Suparmin. Lelaki paruh baya asal Tambak, selatan Banyumas. Sejauh yang saya kenal, belum pernah ada orang yang menjadi Pak RT selama ini. Sejak masih bujang di Tambak, awal nikah, punya anak di Perumahan Kalibogor, sampai punya cucu di Perumahan Puri Kargin.

Totalitasnya diacungi jempol. Seperti hidupnya untuk melayani umat satu RT. Siang malam siap ditemui. Terlebih sekarang sudah jadi pensiunan. Siang ngecek proyek masjid. Sore keliling pos satpam. Malam ikut ronda ambil jimpitan.

Menariknya lagi, karena bertahun-tahun bertahan dan tidak naik jabatan menjadi ketua RW, apalagi Kades. Duduk jabatan bukan yang dia cari. Pengorbanan dan pelayanan prinsipnya.

Dimana-mana, saya tahu kalau jabatan ketua RT adalah jabatan paksaan. Hampir tidak ada yang mau. Sudah tidak ada bayarannya, kalau bekerja banyak diprasangkai, orang tidak ada yang minat, harus siap 24 jam urus rakyat.

Pak Parmin bukan orang biasa. Seperti sudah menemukan tugas hidupnya di dunia ini. Jadi ketua RT dimanapun dia tinggal. Sekarang masih aktif di RT saya. Siang malam ngurus rakyat satu RT.
Totalitas tanpa pamrih.

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

#1 : Sentot, Parkir Pasar Wage

Badannya penuh tato, lengan dan sekujur tubuh. Kalau telanjang dada,
sama seperti batik yang menempel di tubuh. Piercing dimana-mana. Mulut
kiri. Hidung, alis, telinga tidak lupa. Berpekerjaan sebagai tukang
parkir pagi di Pasar Wage.

Tapi siapa sangka, hampir semua orang yang sentuhan dengannya merasa
aman. bakul godong dibantu angkat dagangan. Ibu-ibu penjual salak
senang, Sentot tak pernah minta upah kalau sedang membantu dia
berjualan. Pekerjaannya markir mobil dan motor sangat rapi.
Teriakannya yang stereo, terdengar dari jarak 20 meter lebih.
Sepanjang jalan dia berteriak-teriak memberi aba-aba penuh detil.
Mobil dan motor tertata apik.

Disitu akhirnya semua orang merasa aman dan nyaman. Beberapa bakul tak
sungkan berbagi rokok dengannya. Beberapa pelanggan parkirnya sering
memberinya uang lebih, dari 5000 hingga 50.000, padahal tarif normal
2000 saja.

Nak, kau musti belajar. Tak perlu melihat tato, tak perlu melihat
piercing. Semua orang bisa jadi manusia.


--
Tabik,
Hilmy Nugraha
- bicycling - traveling - literacy -

40 Hari

40 Hari kedepan, rencananya saya mau menulis tentang orang-orang
disekeliling saya yang bisa menjadi inspirasi saya. Sekaligus ini
hadiah berupa panduan, buat adiknya Bumi nanti.

Nak, cuma ini saja.

--
Tabik,
Hilmy Nugraha
- bicycling - traveling - literacy -

Geng Nglek

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Nasehat

"Untuk istri dan anakku, ingat selalu lagu-Nya atas diri kita. Perih pahit kita alami, semata-mata untuk penguatan diri kita dan keturunan kita selanjutnya. "Direwangi mlaku abot ben anak putune enteng uripe.", begitu kata simbah pula. Ojo sambat!", kata Ayah sok perkasa sembari meneteskan air mata.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

gerlap gelap senyap

Dalam satu waktu, ada banyak sekali kemungkinan yang terjadi.
Mendung campur panas.
Dua elemen yang kontras.
Hasilnya, angin kencang ditambah sedikit air dari langit.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

apalah

Berteriak tapi suaraku tercekat
Menangis tapi air mataku tak tumpah
Bergerak tapi badanku terkunci patri
Berlari tapi kakiku terikat
Melawan tapi aku tak berdaya

Duh Gusti, aku pasrah.

Sumbang, 131215
Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Ijtihad Perampok

"Sesekali bolehlah kita merampok. Toh untuk makan sehari-hari anak kita.", kata Ayah.
"Tapi agama melarang kita melakukannya Yah.", kata Ibu.
"Sudah tidak ada jalan lain. Kali ini aku berijtihad, boleh merampok asal yang kita rampok adalah perampok juga, tentunya yang jauh lebih kaya. Aku lebih sering dibayang-bayangi tangis lapar anakku daripada dosaku merampok.", ujar Ayah kembali.


Sumbang, 131215

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Relatif

Kata kawanku, setelah menikah permasalahan ekonomi teratasi
Kata kawanku yang lain, punya anak berbanding lurus dengan kemakmuran rejeki yang diperoleh
Kata kawanku yang lain satu lagi, 2 pernyataan diatas relatif.

Kataku, ah, itu terserah-serah Tuhan. Aturan-Nya boleh Ia langgar ribuan bahkan jutaan kali sekalipun.
Lha wong Dia Tuhan.


Sumbang, 131215
Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Doa Seorang Kepepet

Kalau seluruh kebaikanku mendapat balasan pahala dari-Mu,
Ku ingin dicairkan saja.
Aku sedang butuh rupiah.


Sumbang, 131215

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

hambuh

Kalau dipikir, mungkin bisa jadi segala halangan rintangan itu adalah
pertanda Tuhan untuk menghentikan langkah kita.

Tapi bisa juga pemikiran kita balik, penambah semangat.

Sama kejadiannya seperti kemarin.

Apapun kesimpulannya, itu terserah saya. Dan anda juga boleh menyimpulkan.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Bus

Bis Tri Star menuju Magelang,
Oh Tuhan, Kau supirnya...

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Sub Simpul Kedungjampang

Intermediasi.
Ibu sholawat Purbalingga.
Sekup lokal.
Kerja peradaban.

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Muktamar


pilih satu diantara sekian banyak


Relevansi


Ketika saya diminta membikin kandang ayam oleh majikan tercinta saya, maka saya akan dengan seluruh tenaga, pikiran dan hati dalam mengerjakannya. Saya maksimalkan semua potensi dalam tubuh dan diri saya, sebaik mungkin mengerjakannya. Jika dijalan ada kurang-kurangnya, itu tetep akan dimaklumi oleh majikan saya, karena saya sudah pol-polan dalam bekerja.

Tapi jika tetap ada kekurangan, dan sepertinya itu memang kebutuhan dalam pengerjaan proyek besar saya ini, maka ya tidak apalah jika saya meminta majikan saya membantu. Contohnya, saya kurang bahan paku dalam kerja saya. Maka meminta paku kepada majikan menjadi relevan karena sesuai dengan tugas saya sebagai arsitek kandang ayam.

Tapi kalau ditengah jalan, saya meminta jus atau gorengan combro, ya sepertinya itu mengada-ada saja. Akhlaknya kok ndak pas yah. Kita diminta majikan, pekerjaan belum selesai, sudah meminta ini itu yang tidak berkaitan dengan tugas besar kita. Itu berkait jauh, tapi sebenarnya malah tidak berkait. Untuk alasan produktifitas kita meminta jus dan gorengan, padahal yang ada adalah nafsu saja meminta ini meminta itu.

Sama seperti hidup.

Kalau hidup adalah amanah penugasan besar terhadap manusia dalam proyek peradaban alam semesta, maka meminta sesuatu yang berkaitan dengan kerja besar peradaban menjadi relevan. Saya boleh meminta fortuner, rumah besar, harta melimpah sampai akses dimana-mana kalau memang tepat orientasinya. Tetapi meminta sesuatu karena nafsu ingin, diri sendiri itu seperti meminta jus dan gorengan pada saat majikan kita meminta kita mengerjakan kandang ayam. Tidak tepat konteksnya.

Kalaupun dalam hidup kita diberi "jus" kemudian oleh majikan kita, itu bukan kita yang meminta, tapi semata-mata karena majikan kita cinta. Indah to?

Seperti apa saya? Ya, kemarin ke Haramain, masih meminta ini itu. Masih kurang tepat.

Musti mengulang.

Moskeng Ginto

Tidak pernah saya rencanakan sebelumnya bisa sampai ditempat ini. Saya percaya, dari 1000 kejadian dalam hidup kita, 997 merupakan hal yang diluar pikiran dan rencana kita.
Mungkin ini konsep 'diperjalankan'. Tugas kita mencari rahasia dibaliknya. Oh asyiknya.
Tabik,
Hilmy Nugraha
sent from smartphone

Katuranggan

Saya musti belajar lagi, kisah-kisah nabi. Seperti apa perih juang mereka. Apa Ayub menahan perih sakit? Apa Yusuf dengan ketampanan wajahnya? Apa Ibrahim dengan ujian keyakinannya? Apa Isa dengan rasa satang kasihnya? Dimana posisi mereka dalam kehidupan manusia.

Saya musti belajar lagi, para sahabat nabi. Mereka yang setia menemani perjalanan nabi. Panas terik ketika hijrah, sakit perih ketika dihina. Hamzah si panglima perang. Usman si kaya derma. Ali sang gerbang ilmu. Zaid si penulis. Seperti apa letak mereka dalam perjuangan.

Saya musti belajar lagi, cerita wayang. Ramayana dan Baratayuda. Wayang satu kotak itu menunjukkan ratusribuan karakter umat manusia. Apa saya pandawa? Atau malah kurawa? Jangan-jangan hanya punakawan? Jadi gunung, hutan, pohon atau malah gajah? Tapi bukankah tidak ada peran yang hanya?

Juga musti belajar kepada musik, film, pengembaraan sains, kendara udara, pasukan bumi, SunGoKong, lalu binatang melata.

Dimana letak saya atas perjalanan ini. Dimana katuranggan terbaik saya. Dimana saya mengambil peran pada perang nanti. Apa pengibar panji, telik sandi, pasukan tempur, pembangun jalan, pengatur strategi, panglima, regu penolong, atau malah dirumah saja, tidak ikut perang. Menikmati teh hangat, mendoan, sembari baca berita perang.

Saya sedang mencocok-cocokkan.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Pekerjaan Agama


Saya bersama teman-teman menyimpulkan bahwa yang dimaksud pekerjaan Agama bukan hanya sembahyang, puasa, zakat dan haji, melainkan juga mandi, makan yang tepat , berangkat ke tempat kerja mencari nafkah untuk anak istri, menolong siapa saja yang perlu ditolong, bikin koperasi partikelir, menghimpun tukang-tukang ojek dan pedagang kakilima, dan seterusnya.

Itu semua adalah pekerjaan Agama, alias menjalankan perintah Tuhan. Termasuk juga menyelenggarakan perkumpulan bulanan bersama puluhan ribu sahabat-sahabat sebangsa untuk saling mensinergikan kemampuan ekonomi, mencerahkan hati, menata pikiran, memperluas wawasan nasional, serta mengungkapkan apa adanya apa kandungan hati kami tentang kepemimpinan nasional yang berjasa menciptakan kegelisahan-kegelisahan. Itu semua adalah pekerjaan Agama.

Dan karena pekerjaan Agama, maka teman-teman saya yang lain, yaitu para pejuang sosial modern di kota-kota, menganggapnya tidak progresif, tidak kritis, tidak ada hubungannya dengan demokrasi. Maka hanya kami sendiri yang menikmati manfaatnya, padahal kehidupan kami tidaklah untuk kami sendiri, melainkan untuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (182)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Pojok Jembatan


Guadalupe, dari situ cukup naik jeepney sampailah kami ditempat peristirahatan.

Disini banyak orang berkeringat. Kemana-mana bawa handuk

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Terdampar

Dari gurun, sampai ke gunung.
Pertanyaan saya tetap, akan dimana ujung perjalanan ini. Atau jangan-jangan, memang tak berujung?
Tabik,
Hilmy Nugraha
sent from smartphone

Berat.

Ternyata berat juga berpisah. Saya belum pernah merasakan sedalam ini. Saya yang hendak terbang melintasi benua, melihat jernihnya mata Rini dan Bumi, saya nggrentes.

Batin saya tak kuat. Seharusnya syaraf memerintahkan mata saya untuk berair, tapi saya tahan sekuat tenaga. Semua anggota keluarga ada. Saya salami satu persatu, saya pandangi mata mereka.

Iya, meski seperti lagu "Pergi Untuk Kembali", bagi saya ini tetap perpisahan. Dan berat bagi saya. Beberapa orang siap untuk menghadapi pertemuan, tapi gentar menghadapi perpisahan. Dua-dua musti kita telan. Meskipun hanya sekali.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Negasi

Perpaduan yang aneh.
Semangka, rokok dan kopi panas.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Jakarta Kali Ini

Saya musti melihat ribuan manusia. Ratusan kendaraan bermotor. Berpuluh-puluh gedung bertingkat. Dan satu kemunafikan.

Ada orang menawarkan sepatu disamping saya, orang Sunda. Ditangannya ada 6 pasang sepatu. Dicangklongnya tas besar isi penuh dengan sepatu. Saya yakin dia berjalan puluhan kilometer sampai sore tadi.

Ada orang sedang membersihkan tembok saluran air di daerah Senen. Tubuhnya penuh kotoran, lumpur pembuangan. Dari jauh saja sudah khas baunya, apalagi mereka berendam seharian disana.

Ada orang berkeliling berjualan kopi. Pakai sepeda. Dibulan puasa, tetap julalan. Toh yang tidak puasa tetap banyak. Rejeki dibulan suci.

Ada pegawai negeri, mapan. 50 % parkiran gedungnya isi mobil pribadi diatas tahun 2010. Hidupnya tenang. Tidak mewah, tapi cukup. Damai. Ibadah tenang.

Ada kaum pekerja. Sehari-hari bekerja demi makan sehari-hari dan gaya hidup weekend. Belanja di mall, makan di foodcourt. Padahal 80% asli daerah.

Ada ini. Ada itu. Semua ada di Jakarta.

Yang tidak ada? Yang apa adanya. Yang sejati. Angel nyarinya.

Kadang

Kadang, ini seperti di Meulaboh, Pantai Barat Aceh.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Kurikulum Hidup


Setiap murid di sekolah seharusnya memiliki kurikulum mata pelajaran sesuai dengan dirinya. Tidak bisa disamakan. Ini jika berkiblat pada pemahaman setiap manusia diciptakan berbeda dan spesial. Anak Papua seharusnya tidak sama mata pelajarannya dengan anak Kota Jakarta. Anak pantai belajar menjadi nelayan, atau anak gunung belajar berladang. Tapi tidak apa-apa. Jaman sekarang kan sekolahnya cukup sekolah-sekolahan.

Jika hidup adalah sekolah, tentu bukan sekolah-sekolahan. Si pembuat kurikulum tentunya tahu betul batas kemampuan muridnya. Kadar beratnya disesuaikan secara tepat sesuai kadar pengetahuan dan kedalaman dirinya. Si pembuat kurikulum tahu kapan tepatnya ujian untuk pelajaran hidup diselenggarakan. Atau kapan juga rapor bisa diterima. Apakah bentuk balasannya hingga rapor merahnya, Dia tahu semua.

Kalau sudah demikian pemahamannya, setiap orang adalah murid, dan Tuhan itu gurunya. Kita ikhlas kapan ujian berlangsung. Tugas kita belajar, memetik hikmah setiap kejadian, menggali ilmu langit bumi, berteman dengan murid lainnya dan sungguh-sungguh mengerjakan ujian. Selanjutnya kita bisa naik kelas, naik tingkat. Bentuknya bisa naik derajat, martabat, dapat berkah, dan kenikmatan lainnya.

Tapi jangan lupa, setiap naik kelas pelajaran dan ujian akan bertambah levelnya. Tentu disisi lain kemampua kita pasti bertambah, dan relasi kita tambah banyak. Nah, rajin-rajin belajar dan sowan kepada kakak kelas. Mereka pasti mau mengajari kurikulum hidup kita. Supaya lulus dari ujian dari Dia.

25 Juni 2015

Tuhan Aku Berguru

Tuhan aku berguru kepadaMu
Tidak tidur di kereta waktu
Tuhan aku berguru kepadaMu
Meragukan setiap yang ku temu

Kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan
Buta mata menganugerahi penglihatan

Jika aku tahu terasa betapa tak tahu
Waktu melihat betapa penuh rahasia
Gelap yang dikandung oleh cahaya


#EAN
Tabik,
Hilmy Nugraha
sent from smartphone


Bayi Dalam Sarung


Pernah suatu ketika dimana, bayi ini hanya bisa tidur kalau diayun didalam sarungnya Kakeknya. Bahkan ketika mudik ke Jogjapun, harus pakai sarung ini. Entah apa mantra dan sihir didalamnya. Sepertinya sih doa keamanan dan kedamaian.

*adegan diatas tanpa peran pengganti. Dilakukan oleh pemeran utama, Bumi.

Frustasi Berbuat Baik

Anda yang pernah hidup di daerah Singapura, Jepang atau Korea pasti tahu betapa tertibnya negara mereka. Tidak merokok sembarangan, antri jika menunggu sesuatu, bisa berhenti pada haltenya, bahkan yang ekstrim mereka tidak meludah sembarangan. Mereka negara tertib. Percaya betul bahwa setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Yakin betul bahwa setiap keburukan akan dibalas dengan keburukan. Sekecil apapun. Bukankah ini firman Tuhan?

Karena negara melindunginya. Negara menjamin orang yang berbuat baik, jujur dan kerja keras mendapatkan apa yang menjadi haknya. Disana mereka yang berbuat baik akan mendapatkan pelayanan terbaik oleh negara. Orang jujur pasti aman dan akan dicari-cari untuk diminta bekerja. Orang yang kerja keras dijamin oleh negara, mereka akan mendapatkan hak terbaik atas gaji, tunjangan dari negara.

Nah, disini? Jangankan jaminan. Orang berbuat baik sekarang malah dicurigai. Menyapa orang di angkot di kota besar bisa jadi modus kejahatan. Orang-orang terbaik negeri ini dibuang. Orang jujur malah hancur. Yang dijaga adalah mereka yang bisa membayar semuanya. Sekeras apapun kita bekerja, tidak akan dihargai oleh negara. Itu urusanmu sendiri. Tidak pengaruh. Ada tidak ada negara menjadi tidak ada bedanya. Apa tujuan ada negara? Kalau urusan ini saja tidak bisa mengurus.

Lalu orang-orang menjadi frustasi berbuat baik. Rajin berbohong. Malas bekerja keras. Apatis. kejahatan dimana-mana. Cara berfikir sehat kita terbalik sudah. Negara yang seharusnya menjamin ini semua menjadi malah berlawanan.

Tapi kalau kita hanya mengharap kepada negara ini, pasti jadinya hanya frustasi, putus asa dan kemenyerahan hidup. Sedang kalau kata Bung Karno diatas kekuasaan negara ini ada kekuasaan rakyat, dan diatasnya lagi ada kekuasaan Tuhan. Kita sering lupa ada Tuhan. Maka menjadi pasrah dalam kefrustasian.

Yakin saja, bahwa bisa jadi negara kita tidak menjamin balasan kebaikan yang kita perbuat, tapi Tuhan menghitung dengan teliti, menyimpan semua file perbuatan kita dengan detail dan membalasnya satu persatu dikondisi dan waktu yang paling tepat yang dirasakan oleh umat manusia. Itu kalau kita tidak atheis dan masih percaya ada Tuhan.


23 Juni 2015
Mendangarkan Swami.

Hadir

Niat yang kuat bisa mengantarkan kita untuk berpuasa 3 hari 3 malam, tapi sepiring nasi sebenarnya tidak akan cukup untuk jadi tenaga 1 hari.

Lalu, dimana energi itu sebenarnya hadir?

Tabik,

sent from smartphone

Niat Leyeh-leyeh

Kalau saya pergi bekerja, biasanya tujuan terbesar saya adalah santai setelah bekerja. Leyeh-leyeh sambil minum kopi, ngobrol ngalor ngidul, dan mendengarkan keroncong. Bahkan kalau bisa tidak bekerja malah santai sepanjang waktu. Ini mental terburuk manusia jaman ini. Saya sering mengalaminya.

Lantas apa yang salah? Ya salah. Karena kita belum bisa mengolah diri kita. Kenapa yang disebut leyeh-leyeh itu menjadi tujuan, sedang bekerja tidak? Dan yang terjadi adalah, ketika kita mendapat pekerjaan yang sebenarnya saat kita berniat santai, pikiran kita ruwet menggerundel tidak karuan. Niatnya apa dapatnya apa. Mau santai malah disuruh ini itu. Tidak sesuai keinginan.

Mengapa tidak bisa kita temukan kebahagiaan pada saat melakukan sesuatu? Mengapa tidak bisa kita temukan keindahan pada saat berkeringat? Mengapa tidak bisa kita temukan kenikmatan pada saat kelelahan bergerak? Mengapa tidak bisa kita temukan kesejatian pada saat menghadapi pekerjaan?

Saya rasa ini akar permasalahan etos kerja kita selama ini. Berjuta orang berniat santai untuk menjadi tujuannya. Akhirnya mati-matian bekerja tidak dengan menikmati pekerjaannya, tapi dengan angan-angan santai setelah itu. Lalu dibangunlah impian bahwa pekerjaan itu menyiksa, santai itu nikmat luar biasa. Jika ini berlaku, etos kerja manusia turun seturun turunnya.

Kalau hidup ini kita anggap pekerjaan dari Tuhan, apa iya kita diciptakan di bumi ini untuk santai? Sedang pekerjaan didepan mata, menata peradaban, mengatur bumi dan isinya, sesuai gelar kita, Khalifah di muka bumi.

Berat kan? Iya, kalau niatnya leyeh-leyeh.

23 Juni 2015
Sendiri di rumah. Sepi.

Puasa Internet

Kalau sudah mulai berseluncur di internet, rasa-rasanya kok tidak puas berseluncur saja. Bahkan kayaknya seperti mau menyelam saja. Tidak puas mencari hal yang seharusnya kita cari, malah merembet-rember hal-hal yang tak guna. Apalagi jika pakai paket internet yang unlimited. Apa-apa maunya dibuka, apa-apa maunya di klik, apa-apa maunya didownload.

Saya sering demikian. Ketika sedang searching tentang sesuatu, malah merambah ke hal-hal yang tidak berguna. Tiba-tiba membuka portal berita dengan isi kabar picisan. Berpindah ke youtube, musti download musik yang entah apa. Mampir ke torrent untuk download aplikasi yang gunanya buat apa saja tak tahu. Lalu tak lupa blogwalking tidak beraturan. Nah, yang dicari justru tidak ketemu, malah ketemu hal-hal yang lain. Yang tentunya tidak berguna. Atau bahkan jika berguna, itu sedikit sekali. Tidak signifikan dengan tujuan awal.

Lalu musti gimana kalau sudah seperti ini?

Kata Simbah sebenarnya gampang. Mung angel ngelakonine. Puasa Internet. Puasa disini bukan berarti tidak menggunakannya, tapi membatasi diri. Kalau memang butuh informasi tentang perang suni syiah ya tidak perlu merembet ke Denzel Washington atau Emma Watson. Kalau memang perlu untuk mendownload tutorial Cajon di Youtube ya tidak perlu membuka video National Geographic. Jika mengejar berita tentang Politik kok rasa-rasanya tidak penting mampir untuk lihat mobilnya Syahrini itu apa sekarang.

Butuh ini ya cari ini. Sudah dapat, selesai, tutup. Waktu tidak terbuang. Tenaga tidak terforsir. Pikiran tidak terbagi. Kalau sudah merembet-rembet itu main nafsu saja. Nah, pada dasarnya manusia hidup itu memang menahan. Ngempet. Disini letak puasa sebenarnya. Tahu proporsi, mana yang musti ditelan, mana yang harus tidak kita makan. Puasa Internet sepertinya gampang, tapi sebenarnya susah luar biasa. Apalagi bagi kita yang sudah [unya kebiasaan melampiaskan.

22 Juni 2015

Dalam Kesesatan


Saya masih belum paham. Mengapa orang begitu mudahnya menyesat-nyesatkan orang lain. Hal ini terjadi kepada beberapa golongan Islam yang mungkin mengaku dirinya paling benar. Atau mungkin mereka adalah teman baik Kanjeng Nabi sekaligus keponakannya Gusti Allah. Saya kurang paham. Tapi yang pasti, fenomena ini jelas adanya. Menganggap sesat, kafir, bid'ah, jahil, musyrik, sudah seperti sapaan harian saja.

Padahal dalam logika sederhana, orang kenyang tidak akan pernah meminta makanan. Orang yang meminta makanan adalah orang yang lapar. Logika kecil yang sangat sederhana. Jika diperluas kembali ke analogi yang lain, maka orang yang benar tidak akan pernah meminta diluruskan jalannya. Orang sesatlah yang meminta diluruskan jalannya. Sederhana?

Dan dalam ibadah setiap hari (saya rasa mereka juga beribadah juga), kita selalu meminta diluruskan jalannya. Dalam sholat, setiap Al Fatihah kita membaca "Ihdinas sirathal mustaqim", yang artinya tunjukilah kami jalan yang lurus. Dalam logika tadi, apa iya kalau kita sudah benar jalannya tetap minta diluruskan? Sama seperti orang yang kenyang tetap minta makanan?

17 kali dalam satu hari kita mengucapkan itu. Apa belum mengaku juga bahwa memang benar-benar kita dalam kesesatan? Atau masih bersombong juga bahwa kita sudah benar. Jika demikian adanya, tak usah lagi meminta jalan yang lurus, toh sudah benar. Dan tidak perlu sholat. Buat apa.

Saya memilih sibuk dalam kesesatan saya. Daripada sibuk memikirkan kesesatan orang lain. 17 kali sehari tetap bentuk evaluasi paling nyata atas potensi keburukan kita. Tapi jika mengapa mereka belum juga paham, lalu apa yang menimpa mereka? Bisa disebut tidak beruntung secara intelektual. Pelajaran logika saja tidak lulus.

22 Juni 2015

foto bersama


eyang, manah jembar membumi dan neyra kashfila zalikha adhisa

Fajar Hari

Ada bagian dari Indonesia yang sedang sedang memasuki senja dan siap tenggelam dalam di kegelapan malam, ada yang sedang memancarkan matahari baru di fajar hari.

Ada bagian dari Indonesia gegap gempita memuncaki kehancuran, ada bagian lain dari Indonesia yang tak kentara sedang menata kebangkitan.

Ada bagian dari Indonesia yang sedang riuh-rendah menyempurnakan kepalsuan, ada bagian lain dari Indonesia yang tersembunyi dari pemberitaan sedang merintis kesejatian.

Ada bagian dari Indonesia yang habis-habisan menyebarkan sihir, takhayul dan halusinasi, ada bagian lain dari Indonesia yang menaburkan kasunyatan kebenaran.

Ada bagian dari Indonesia yang mati-matian menyebarkan kecemasan, kesedihan dan pertengkaran, ada bagian lain dari Indonesia yang berkelana menyemarakkan persaudaraan, kesatuan dan kegembiraan.

Ada bagian dari Indonesia yang melemparkan sebagian bangsanya ke masa silam, ada bagian lain dari Indonesia yang merintis pembuatan fondasi dan batubata masa depan.

Di bagian fajar hari itulah saya hadir.

Yangon, 11 Oktober 2014.


Emha Ainun Nadjib

nyamuk yang ondol


dirumahku banyak sekali nyamuk. ada puluhan nyamuk yang datang setiap malam. aku sangat yakin tidak sampai seratus. aku anggap ini sebagai tamu istimewa. cuma kalau terkadang sudah kebangetan, aku tepuk satu persatu. yang kubunuh tidak sampai tiga puluh.

aku tidak suka obat nyamuk. dari namanya saja sudah salah. baunya aku tak suka, keampuhannya masih diragukan. untuk yang ampuh, baunya menyengat. untuk yang wangi, malah cenderung aroma terapi.

aku cenderung membasmi dengan cara radikal. membunuh satu persatu dengan tepukan. kukejar sambil lompat-lombat. kalau bumi melihat, dia suka dan tertawa. dikira aku sedang bermain dengannya. padahal aku sangat serius membasmi nyamuk. tapi, kuanggap juga ini bagian dari bermain-main dengan bumi.

anehnya, mereka seperti telat respon. segala gerakanku seperti tidak terbaca. reflek nyamuk mulai berkurang. aku dekati mereka, mereka diam saja. jadi, begitu mudahnya aku menepuk mereka. "ah, nyamuknya ondol", kata istriku. iya benar, dulu tidak seperti ini. tapi biarlah.

dua tujuan aku lakukan dalam membasmi nyamuk, melindungi bumi dari gigitan nyamuk dan mengajaknya bermain hingga tertawa.

#tulisanlama

Anak

Anak-anak jangan diatur sesuai dengan pikiran anda. Mereka bukan milik anda, mereka adalah milik Tuhan. Tuhan punya rencana kepada mereka. Kewajiban orang tua adalah meneliti apa kehendak Tuhan terhadap anak, dan mengawalnya supaya akhlak baik mereka terbentuk.

#EAN

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Kontemplasi

Ketika disuatu forum, kita semua ditanya satu persatu. Apa pikiran yang sedang sering melintas di otak kita akhir-akhir ini? Perenungan apa yang sedang kita endapkan? Buah pikiran apa yang sedang kita pelihara beberapa waktu terakhir?

Saya terdiam. Saya tidak terbiasa memelihara gagasan. Sering saja pikiran-pikiran orisinil saya pergi begitu saja seiring jeleknya saya mendokumentasikannya. Saya gagap. Lalu mengatakan "Pass, lanjut yang lain dulu.".

Lalu tiba giliran teman saya. Dalam lantangnya, dia berkata bahwa dia sedang mencari ketepatan-ketepatan dalam wilayah apapun. Tetiba bohlam kepala saya menyala cerah. Nah, ini pula yang sedang sering berjalan di kepala saya.

Iya, mencari ketepatan. Ini dia. Saya memang sedang berusaha mati-matian dalam mencari ketepatan. Dalam hal apapun.

Mencari yang tepat antara, saya harus lekas pulang atau musti diskusi asyik dengan kawan. Antara saya pergi ke suatu tempat atau berdiam diri dirumah. Antara mengerjakan yang ini atau mengoprek yang itu. Antara kesana atau kemari.

Nah, perjalanan batin ini yang saya butuhkan adalah latihan berlama-lama. Bersering-sering. Peka terhadap efek konsekuensi apa yang terjadi setelah mengambil keputusan itu. Apa kita mengambil keputusan dengan emosional atau dengan akal sehat? Apa kita terburu-buru penuh nafsu? Atau sudah mampu mengendalikan diri kita sendiri.

Latihan ini yang sedang terus menerus saya jalani. Begitu juga teman-teman saya.

Sebenarnya, ini perenungan kami bersama.


Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Om Hao

Kulitnya putih, matanya sipit. Iya, dia peranakan tiong hoa asli Purbalingga. Selain memang tampangnya yang benar-benar China, diapun katholik taat. Tidak pernah telat sembahyang minggu. Berbuat baik me sesama. Juga ziarah ke beberapa tempat suci.

Yang saya herankan adalah persentuhannya dengan komunitas kami. Beliau sanggup duduk 6 jam bersama kami, dari pukul 9 malam sampai 3 pagi. Mendengarkan kami bershalawat ke atas Nabi favorit kami. Mengikuti alur diskusi kami. Duduk bersantai, ngerokok, nyamil sembari gendu-gendu rasa mengenai kehidupan.

Pun sama ketika saya temui kemarin di hajatan mas Hanif. Dengan santai penuh kelakar dia selalu meresahkan agama yang hanya dijadikan simbol, bukan aplikasi sosialnya. YouTube Cak Nun dan Kiai Kanjeng dibabatnya habis, ditonton secara rajin. Beberapa lagu shalawatnya hapal. Terlebih shalawat dengan aransemen musik gereja.

Kepada Mas Agus, dia bertakdzim penuh. Percaya betul kalau keputusan-keputusan kami adalah ketepatan berfikir. Apalagi kepada Cak Nun, pernah berkunjung ke Mocopat Syafaat dan selalu heran, kok ada tempat senikmat di Mocopat Syafaat. Apalagi beliau bisa bertemu Cak Nun.

Baginya, agama itu aplikasi sosial. Outputnya, masakannya bukan APA dapurnya. Ini juga yang membuat dia kurang disenangi oleh komunitasnya sendiri. Dimana agama dianggap hanya sebagai ritual.

Om Hao sedang mencari Tuhan. Mungkin disela-sela kesibukannya mengurus toko komputer di Purbalingga, dia masih menyempatkan diri mendengarkan musik Kiai Kanjeng atau YouTube Cak Nun.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Rakoreg Fosma di Tasik

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Padang Panjang


Padang Panjang, 4 Tahun silam.
penjelajahan Sumatera via Bus Umum
Purwokerto - Aceh
bersama Adhi Yuwana dan Melyn

Kebun Maiyah

Atau andaikan saja engkau ambil satu amsal:Maiyah itu Kebun, ia kebun apa gerangan? Terdapat pohon-pohon apa saja padanya? Pepohonan, kembang dan bebuahan: apakah buah-buah itu adalah juga sebagaimana bebuahan di kebun-kebun lain? Dari mana asal usul bijih-bijihnya? Apakah tanahnya sama dengan tanah kebun-kebun lain? Ataukah pengolahan tanahnya yang berbeda? Dari mana asalnya ilmu pengolahan itu? Atau cuacanya, suhunya, anginnya, roang kosong di atasnya hingga langit? Siapa yang berkebun? Apakah nenek moyangnya dulu juga berkebun? Siapa yang menyuruh dia berkebun? Apakah ia memetik bebuahan di kebunnya? Atau siapa saja yang memetiknya? Bisakah engkau mengembangkankan pembayangan pertanyaan-pertanyaan ini membengkak sampai ke keagungan dan mendetail hingga ke "glepung", bahkan hingga ke sunyi senyap?

#EAN

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Dajal Net - Iwan Fals

Aku kecanduan internet
Twiter facebook dan mbah google
Belum lagi youtube dan you ssst
Lalu situs-situs lainnya
Bangun tidur tidur lagi
Mencet sana mencet sini
Sudah nggak peduli lagi dengan yang lain

Kerjaan berantakan
Kewajiban melayang
Sakit pinggang leher dan mata
Duh kasihan deh aku
Ketawa-ketawa sendiri
Sedih-sedih, sedih sendiri
Marah-marah, marah sendiri, ya sendiri

Gila kok bisa seperti ini ya
Drakula pulsa cekikian
Sambil menyedot darah pelanggan
Dan darahku yang pas-pasan

Memang teman semakin banyak
Teman yang sama-sama gendeng
Internet dekatkan yang jauh
Internet menjauhkan yang dekat
Otakku kutitipkan disitu
Jadi malas mengingat, malas belajar
Toh semuanya ada disitu
Ayo mau tanya apa ayo tinggal klik
Mbah google bisa menjawabnya

Sama seperti yang lain 
Hobiku jadi suka nunduk
Di halte di pasar
Di rumah ibadah
Di rumah sakit di sekolah
Bahkan di sidang parlemen
Pun orang-orang pada menunduk
Oh ilmu padi rupanya
Semakin berisi semakin merunduk

Informasi dalam hitungan detik
Berita tinggal pilih aje
Semua orang jadi pandai nyontek
Ya nyontek

Teknologi komunikasi koq jadi tak bisa komunikasi
Lha sudah pada tau semua kan orang jadi malas berbicara
Ketawa-ketawa nggak jelas
Sedih-sedih, sedih nggak jelas
Marah-marah, marah nggak jelas
Nggak jelas

Semua kesedot ke layar itu
Layar peradaban
Yang sudah dijanjikan
Seperti dajal dengan matanya yang satu itu
Semuanya pergi menuju kesitu

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Bumi di Stasiun

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

cobalah bernyanyi

Lidah melet melet. Tangan didepan dada bersambungan. Buang nafas. Setiap pagi. Menghadap matahari. Jam 6 pagi. Minimal seperempat jam. Kontinu selama 6 bulan.

Itu bikin suara kita stereo.

Lalu, cobalah bernyanyi. Dari hati. Mengantar cahaya melalui suara. Memasuki telinga menembus fikiran dan rasa.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Rumah Sutet

Rumah saya dekat sutet. Sekitar 20 meter jaraknya. Kata orang, rumah dekat sutet itu bahaya. Plus dijual atau untuk agunan tidak begitu bagus. Banyak orang memperhatikan hal ini.

Tapi, saya selalu bertanya-tanya, kenapa bisa dapat rumah ini. Padahal saya hampir dapat rumah diujung sana. Tapi jodoh lari kesini.

Hm. Bisa jadi dapat dijalan utama. Hadap keutara? Buka pintu lihat gunung Slamet. Atau karena depan fasilitas umum. Ah, apapun, itu pasti hikmah.

Dan sudah setahun disini, saya sehat sehat saja meski rumah dekat sutet. Dan masih ada dua rumah samping saya yang jauh lebih dekat.

Dan baik baik saja.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Klangenan

Teh pahit cangkir seng, sarapan pagi belakang SD, krupuk mireng kuning, puli ketan siram gula jawa, peyek ikan asin, gulai rusuk kambing, soto Kang roni,

Saya tetiba ingat ini. Ingat masa kecil saya, di Belik. Bersama Mbah Nur.

Fatehah untuk beliau. Saya kangen.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Kata Bang Iwan

Internet mendekatkan yang jauh
Internet menjauhkan yang dekat

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Melongok Keluar

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Juguran

Juguran itu artinya tongkrongan, kongkow, ngariung kalau basa sundanya. Syaratnya ada tempat yang luas, silir-silir. Jembar pemandangannya. Juga ada syarat satu lagi, timbulnya kebahagiaan bersama. Tidak salah satu person saja, tapi semuanya.

Kebahagiaan bisa diciptakan dengan makan bersama, bikin diskusi, sharing masalah hidup sampai bikin permainan bersama. Nah yang mana yang dipilih, itu terserah saja.

Yuh, njugur. Enake wengi-wengi sih.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

----

Tauhid berati engkau atau aku melebur diri kepadaNya. Metodenya adalah peniadaan diri, dan itu ditempuh dengan terus-menerus mengikis kepentingan diri sendiri.
Sebab bagaimana cintaku kepada-Nya akan bisa bermutu, jika masih tergoda oleh kejayaanku sendiri, padahal diriku ini aslinya tak ada.
Bagaimana Ia akan percaya kepada cintaku jika perhatian dan energi kepentingan padaku tak sepenuhnya bermuatan rindu kepadaNya.
Cak Nun

Yang Internal

Ilmu bisa seluas atau sedalam apapun, tapi mekanisme internal di dalam diri kita ketika hendak melakukan segala sesuatu adalah kewaspadaan, kedewasaan, kematangan, dan kebijaksanaan. Begitu kira2 blm lama ini Simbah pernah berkata.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Goda-goda

Memang mengasikkan, pada saat tahap mencari ilmu dianjurkan untuk mencari sebanyak2nya, setinggi2nya, etos mencari dan mengembangkan ilmu sangat dijunjung oleh Islam, tp pada saat orang sudah pada posisi tertentu dari yg disebut berilmu mereka jg harus menyadari bahwa menjadi orang berilmu banyak godaan dan ujiannya.

- di sebuah grup diskusi

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Mekanik

Mungkin, kedepannya Bumi bisa jadi usaha bengkel. Atau insinyur mesin. Bisa juga inventor mekanik. Malah pengusaha motor murah.

Apapun itu, saya membebaskannya. Asal dia sudah jadi dirinya sendiri, nemu sangkan paraning dumadi.

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

sang pemimpi

"Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!"

Dengan Seribu Kali Mati

dengan seribu kali mati
akan terus kukejar namamu yang sejati

kau bilang kau tuhan kau allah
tapi aku tak sekhilaf anak-anak sekolah

bajumu yang sembilan puluh sembilan
sungguh berhasil menyembunyikan
engkau diri yang samar-samar

tak usah lagi menyamar
seusai batas filsafat dan ilmu
tertangkap sudah senda guraumu.

1988
Emha Ainun Nadjib

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Dadi Ndadi

Dadi bocah bae durung genep wes dadi bojo. Dadi bojo bae durung genep wes dadi bapak. Dadi bapak bae durung genep wes meh duwe anak loro.

Kapan dadi? Kapan Ndadi?

Ora rampung-rampung prosese.

Dadi menungsa angele...

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Jaman Nabi

Jaman Nabi, ada banyak sekali ilmu pengetahuan yang ada. Karena memang Nabi itu kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya. Maka berbondong-bondonglah orang bertanya ini itu kepada Nabi, tapi tetap saja tidak secerdas Ali dalam bertanya.

Simbah saya pernah cerita bahwa jaman Nabi sangat disayangkan sekali, karena tidak banyak yang tergali darinya. Meskipun, sepertinya sudah sangat banyak.

Lalu saya ngepas-ngepasin, apa iya saya musti banyak bertanya ke Simbah? Mumpung beliau masih sugeng. Tapi apa ya pas? Dan apa iya, saya sudah siap dengan ilmu yang akan saya terima? Karena, setiap ilmu akan dituntut amal dan tanggung jawabnya.

Nah, saya kemudian mlipir diujung diskusi. Isin. Urung mampu.

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Cerdas Bertanya

Orang pintar itu pandai menjawab. Tapi orang cerdas itu pandai bertanya.

Ah, kamu tahu apa artinya.

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Pesan Siang Ini

Ilmu bisa seluas atau sedalam apapun, tapi mekanisme internal di dalam diri kita ketika hendak melakukan segala sesuatu adalah kewaspadaan, kedewasaan, kematangan, dan kebijaksanaan.

- simbah

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Gambar Poster

Sejak Desember, komunitas kami memutuskan untuk rutin membuat poster dalam setiap publikasi kegiatannya. Dan yang utama, poster ini berisi foto human interest karya sendiri yang sesuai dengan tema diskusi. Jadilah saya penanggung jawabnya.

Tugas saya, sebulan sekali musti hunting foto. Kadang blusukan sawah, keliling pasar, atau kadang juga nemu inspirasi di rumah.

Yang sulit adalah menerjemahkan bahasa lisan kedalam bahasa visual. Musti pakai ilmu semiotika. Anutan saya adalah mukadimah diskusi yang disusun oleh redaksi. Sesudah itu, eksekusi.

Saya dituntut kejelian membaca kalimat. Saya diminta kepatutan menerjemahkan bahasa mukadimah. Saya diharuskan menggunakan kaidah kemanusiaan dalam objek gambar. Dan saya dipastikan bisa memvisualisasikan judul diskusi bulanan komunitas kami.

Kreatif!
Dan saya terbakar...

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Becak Dari Tuban

Bolak balik becak-becak ini menarik penumpang dari parkir wisata bis menuju ke area Makam Sunan Bonang, Tuban. Beberapa diantaranya terdapat hiburan musik dengan speaker menempel pada badan becak.

Unik.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Ngaima Dodera

Sebuah pohon yang menaungi sawah-sawah penuh padi.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Tamu Rejeki

Lelaki paruh baya, berbadan tinggi besar itu adalah tamu saya dari New Caledonie. Sebuah negara di daerah pasifik, utara New Zealand selatannya Papua New Guenia. Namanya Sabar Soukiman.

Dan ternyata memang orang Jawa. Bapak Ibunya Indonesia, tapi dia lahir di New Caledonia. Disitu sendiri ternyata banyak peranakan Indonesia yang tinggal cukup lama. Bahasa sehari-hari mereka perancis.

Orang ini beberapa kali membeli barang dagangan saya. Dan tujuan datang kali ini ingin rerembugan, evaluasi kerjasama kita selama ini.

Yang menarik adalah, Jawanya tidak hilang. Dia tidak bisa bahasa inggris, tapi bisa bahasa jawa, meski sedikit. Senyumnya ramah, suka menyapa, suka ngobrol dan tidak seenaknya. Buat saya ini point tersendiri.

Tapi yang saya ingat terus adalah, ordernya beberapa kali menyelamatkan perusahaan dan komunitas kami. Order pertama bisa untuk menopang pembiayaan Silatnas Maiyah di Baturraden. Dan order terakhir, bisa untuk bayar visa dan sangu Rizky pameran ke Belanda. Semua berlangsung ajaib.

Tuhan kasih rejeki kita dengan penuh misteri. Ini tadi adalah yang kami alami. Sepertinya, kalau melihat sepeti ini, kok ya buat hidup sejahtera tidak mustahil. Apa-apa serba mungkin. Hanya cara Tuhan saja yang belum bisa kita logika. Kita sudah buru-buru bilang nihil.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

cajon bumi

Mungkin Bumi memang menyukai musik. Dia tertarik saat saya main ketukan pada toples Tupperware. Juga memperhatikan saat saya bernyanyi "Turn Your Light Down"-nya Bob Marley. Lagi ketika bundanya menyanyi "Kelinci Putih".

Tangan bergerak gerak, kepala menggeleng-geleng, dan kaki menendang-nendang.

Saya ingat, waktu masih di perut ibunya, dia saya beri asupan lelagu bermacam-macam. Reagge, Jazz, Bossa, Ethnic, Blues, sampai ke Langgam. Bisa jadi itu stimulusnya.

Nanti mau saya bikinkan Cajon, dua biji. Untuk saya dan Bumi. Melatih ketukan, itu penting buat landasan musiknya.

Tabik,

Hilmy Nugraha

membersamai

Saya mendongak keatas. Langit-langit ini langsung dengan atap rumah, yaitu seng. Panas, terasa panas. Ini do Jombang, baru mandi sebentar saja sudah gerah kembali. Saya lihat sekeliling, bangunan dari kayu semi permanen. Lantai floor semen separuh jadi. Perabot rumah tangga cukup sederhana, dan etalase dagangan yang jauh dari layak.

Ini warung, digunakan juga sebagai rumah tinggal. Ada dipan kasur diujung sana, kucel kumel tanpa perawatan. Ini jauh disebut layak huni. Apalagi disitu jualan makanan dan saya sedang mampir makan nasi rawon dan minum air putih hangar siang hari.

Tapi yang saya lihat bukan ketidaklayakan tempatnya, namun manusia didalamnya. Diatas dipan itu ada bapak, ibu dan 2 orang anak sedang bercanda riang. Dan ditengah panas. Si bapak meledek anak tersebut hingga tertawa-tawa, menular tawa itu ke adiknya. Si ibu memandangi mereka sembari berbaring.

Saya lihat muka mereka begitu lepas dan bahagia. Saya yakin, mereka penuh tekanan dan masalah. Bisa jadi si bapak penuh hutang dimana-mana. Ibunya lelah bukan main bekerja dari pagi hingga larut dengan uang seadanya. Tapi sepertinya mereka memang ahli mengatasi masalah demikian.

Saya sedemikian larut dengan pemandangan ini. Kekayaan yang mahal, bercegkerama dengan keluarga disiang hari. Bersentuhan fisik penuh canda tawa. Melihat wajah anak riang gembira, meski hidup seadanya.

Saya malah lebih sering menyaksikan, orang yang membuang-buang uangnya demi kebahagiaan keluarga namun tak kunjung bertemu dengan rasa bahagia. Habis uang berjuta-juta, tapi wajah tetap masam saja. Pergi hari libur buang uang, tapi hati mereka tak pernah selesai.

Kalau memang demikian, sejatinya apa itu bahagia?

Tabik,

Hilmy Nugraha

dont

Jangan terlena pada saat pergantian siang ke malam, atau sebaliknya malam ke siang. Disitulah terdapat pundi-pundi keberkahan dan pintu-pintu ilmu.

Itu kata simbah.

Yang selanjutnya dapat kulakukan adalah terjaga pada saat itu, dan melihat alam. Disitu kita bisa melihat Tuhan.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Jalan Kemarin

Perjalanan ini menempuh ribuan kilometer. Dan kami tempuh dengan mobil pribadi. Setir sendiri.

Tujuannya adalah mencari ilmu, mencari cahaya. Berjalan ke Timur, mencari cahaya terbit. Disana ladang cahaya ditaburkan.

Kami berjalan menyusuri pantai utara, banyak tempat yang musti kami singgahi. Ujung persinggahan kami adalah seberang Madura, melewati suramadu. Dan tujuan kami memang di Jombang, Padhang mBulan.

Saya jadi makin kenal teman-teman saya. Memang benar, kalau mau kenal seseorang, berjalanlah bersamanya beberapa hari. Kita akan tahu, 65% dirinya.

Ada Mas Agus yang selalu memaknai perjalanan ini. Dia ini pancer kami. Pengantar risalah. Menurutnya, perjalanan terjauhnya dengan menggunakan jalan darat mobil pribadi.

Mas Herman, bendahara kami, sempat sakit setelah masuk Madura, dia berkeyakinan, dirinya dicuci oleh Mbah Kholil. Sampai pulang sudah segar, makannya banyak kembali. Nyenengi.

Mas Amin, pasukan saba kuburannya Purbalingga, menikmati sangat perjalanan ini. Kunjung makam, wirid, dia spesialisasinya. Wirid bersama Majelis Pahingan dan ikut forum Padhang mBulan adalah umroh baginya.

Pak Sugeng sedang centil-centilnya. Duda beranak satu ini berganti DP BBM sejam sekali, menunjukkan lokasi dimana dia berada. Meski demikian, tirakat dan perenungannya yang dalam, kita tak bisa membantahnya. Dia bombong.

Anggi seperti biasa. Enteng hidupnya. Meski ketemu penggiat Malang yang sudah dinantikannya, tetap saja tidak menyapa satu katapun. Cintanya seperti Umbu.

Kusworo selalu sibuk dengan HPnya. Kasmaran, gandrung, sedang mewakili perasaan dirinya. Habis dia sepanjang jalan diledekin kita.

Rizky seperti biasa, perencana perjalanan terbaik. Paham patrap dan kepatutan. Tulisannya muat di Sabana, dia membeli majalah ini lebih dari tiga.

Azis supir terbaik kami. Mulus, kencang dan irit. Sepertinya perjalanan ini adalah perjalanan ter-fit-nya. Saya salut.

Hirdan beberapa kali mengeluh, tidak sempat bersalaman dengan simbah dan tidak mengikuti forum hingga selesai.

Dan saya sendiri. Mbleketir. Ora ngapa-ngapa.

Bagi saya, perjalanan itu adalah sarana refleksi. Disitulah diri kita terlihat sesungguhnya. Dominant, egois, menang sendiri atau ngalahan, nerimo, dan sebagainya.

Alhamdulillah, lancar semua sehat semua. Dan kami pulang dengan senang. Melebihi perasaan kami lulus wisuda.

Seolah perjalan ini, perjalanan hakekat. Mencari Dia, melalui cahaya...

Tabik,

Hilmy Nugraha

Keempat

Pengajian Padhang mBulan sedang berlangsung keempat kalinya malam ini, dan semakin kukuh dan jernih nuansanya bahwa ia tidak memiliki pamrih apapun kecuali penyembahan yang lugu sekumpulan makhluk hidup kepada Penciptanya.
Kalau Tuhan memperkenankan sesuatu atas ketulusan hati orang-orang yang berkumpul ini, bisa saja forum pengajian ini kelak memiliki makna sejarah. Tapi ia bukanlah gerakan kebudayaan, apalagi gerakan politik. Ia mungkin suatu gerak, tapi bukan gerakan — sebab 'gerakan' berarti suatu pretensi pengaitan diri dengan perubahan-perubahan dalam sejarah, yang dengan gampang bisa diassosiasikan dengan pola-pola baku sistem sosial yang berlaku. 'Gerakan' cenderung identik dengan suatu enerji sejarah yang memerlukan organisasi, ideologi dan target-target.
Bukan. Pengajian Padhang mBulan hanyalah semangat dan kekhusyukan yang innosen (polos, lugu) dari hati dan akal sejumlah manusia yang berkumpul untuk menyapa Tuhan agar disapa Tuhan.
Ia juga bukan semacam pengajian atau pesantren sebagaimana yang selama ini ada dan dipahami dalam masyarakat kita. Sebab di forum ini tidak ada Kiainya. Fuad Effendy hanya dipanggil Cak Fuad dan Ehma Ainun Nadjib hanya dipanggil Cak Nun. Hal sepele ini sesungguhnya sangat penting karena dengan panggilan itu tercermin bahwa dalam forum ini tidak ada hirarki-hirarki sebagaimana yang dikenal dalam tradisi pesantren atau tarikat.
Ini juga bukan perguruan, karena memang tidak ada murid dalam forum ini.
Satu-satunya term, nama, istilah atau kategori yang bisa dipakai untuk mendekati dan memahami forum pengajian barangkali adalah ihram: semua orang disini menanggalkan seluruh pakaaian sosialnya, jabatannya, gelarnya, posisi kulturalnya, gengsi pribadinya, serta seluruh kompleks-kompleks keduniawiannya — untuk bersama-sama mengenakan kain putih untuk bertemu batin dan akal kepada Allah swt.
'Ihram' itulah yang barangkali sedang kita tradisikan bersama-sama. 'Ihram' untuk menggali hawa murni, melatih telinga kita agar bersama-sama diperkenankan Tuhan sanggup mendengarkan kebenaran, melatih mata kita agar mampu menatap Al-Haq, melatih seluruh jiwa raga kita untuk tidak ditinggalkan oleh Allah swt, yang amat kita cintai dan kita butuhkan.
Catatan:
Tulisan ini merupakan pengantar Maiyah Padhang mBulan edisi keempat yang ditulis oleh Cak Nun, sekitar 21 tahun yang lalu.
Tabik,
Hilmy Nugraha







Ingat

Bapak berperawakan kekar setengah baya itu sedang menggendong anak lelakinya. Mungkin, umur anaknya sekitar 1 tahun. Tubuhnya montok, sehat Dan sangat aktif gerak. Celotehnya mulai banyak.

Saya memperhatikannya dari seberang jalan, di bangku warung. Sembari ngopi. Lama saya melihat gerak geriknya. Bapak dengan tampang sangar ternyata family man juga.

Entah apa pekerjaannya, yang jelas sehari-hari bergelut dengan otot dan tenaga. Keras kerjanya, matahari temannya. Namun siapa menduga, orang dengan pekerjaan sekasar apapun, dia adalah orang penyayang bagi keluarganya.

Saya terus memperhatikannya. Saya teringat Bumi, anak saya. Saat terpisah 500 km dari saya, ya saya sedang di Jombang. Sedang dia di Cilacap. Saya rindu menggendong, menikmati celotehnya dan tertawa bersamanya.

Saya akui, sayapun sedang belajar menjadi manusia...

Tabik,

Hilmy Nugraha

Dzikral Ahibba

Ngalap Berkah

Ramai berduyun-duyun. Wajah lugu, khas pedesaan. Ini sedang ngalap berkah. Berkah kiai. Yang sudah menempuh jalan dulu menuju Nya.

Dan saya menyaksikan.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Menturo Pagi Ini

Pagi ini saya bangun. Dan ternyata sudah di Menturo, Jombang. Di kampung kelahiran guru saya.

Suasananya kampung sekali. Sangat ndesa. Pohon di kanan kiri jalan, rumah berjarak jauh-jauhan. Warung sajian seadanya, jajanan pasar dan kebutuhan rumah.

Anak desa pergi ke sekolah berjalan kaki, beberapa naik sepeda. Bapak pergi ke ladang, sekarang bukan sedang musim tanam padi. Ibu-ibu mencuci, melakukan pekerjaan rumah.

Pohon jati ada di beberapa halaman rumah. Saya ingat, analogi jati dan kecipir yang merambat. Saya kecipir dan pohon jati itu guru saya. Jika tujuannya untuk sama-sama naik keatas mencari cahaya agar tanaman bisa hidup, maka saya nunut kuat dan tingginya pohon jati.

Saya ini bukan siapa-siapa. Mung ketulung urip di sekitar jati wae. Jadi, bisa naik tinggi mencari cahaya. Guru saya sudah jelas akarnya, kebonnya, bibitnya. Kalau kecipir, salah merambat saja sudah gagal hidupnya.

Dan pagi ini, saya sudah di Menturo, Jombang. Di kebun jati itu. Saya nunut mencari cahaya.

Tabik,

Hilmy Nugraha

7

Sudah 7 tahun saya tidak kesini. Demak.

Saya musti membangun lagi ingatan-ingatan masa lalu. Penginapan. Gedung. Snack. Fotokopi. Pembicara
Peserta. Dan training.

Kali ini, biar saya yang jadi peserta atas seminar yang diisi oleh Raden Patah dan Sunan Kalijaga.

Dan sayapun ke Kadilangu.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Jalan

Jalan Bukateja, yang lurus, lebar dan menyenangkan. Serta bisa ngebut 120 km/jam. Sedang diperbaiki, dicor.

Kami harus ikhlas lewat jalan Kemangkon yang jelek dan penuh lubang. Sedikit memutar iya. Sempit memang.

Apa seperti ini hidup? Harus ditempuh dengan berbagai macam jalan. Yang apapun perjalanannya, intinya tujuannya sama. Pulang.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Paspor

Lalu saya membuat paspor. Mungkin ini sebuah kemajuan, tapi bagi saya sudah mulai berbentuk kebutuhan. Rizky sudah memulainya 2 tahun lalu. Aku dan Azis baru.

Mau kemana? Ya entah kemana. Kemana-mana boleh.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Terus

Tahu-tahu Bumi sudah 1 tahun 2 bulan. Benar kata Mas Miko, umur anak cepet banget. Asal jangan melewatkan pertumbuhan anak aja.

Kedip mata, pegang sendok, rambatan, ambil air pakai wadah, usap-usap lantai, tiduran di lantai, mindahin kerikil, buka buku.

Belum lengkap, tapi tiap harinya tambah-tambah terus.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Memahami

Ternyata ya yang paling susah itu memahami. Mau dicoba seperti apapun, jika tidak ada campur tangan Dia melalui makhluk yang bernama hidayah ya musykil saja.

Lalu, apa iya kita tak perlu ngapa-ngapain? Diam saja, menunggu hidayah datang, karena yang sejati memang Dia yang mengantar.

Ya kalau anda minta air minum tanpa membawa gelas, mau ditaruh dimana itu air? Sama, mau ditaruh dimana hidayah pemahaman kalau akal pikiran kita tidak terbuka dengan sesuatu yang baru.

Tabik,

Hilmy Nugraha

pertimbangan

Pada level tertentu, cara hidup kami memang ribet. Kami musti memilih betul produk-produk yang akan kami pakai. Jangan-jangan ini terkait dengan kapitalisme Global. Apakah petani ini sudah terjamin fair trade-nya? Ataukah produk ini diciptakan massal yang kemudian untung hanya berkeliaran pada pemilik modal? Atau produk ini alami, tanpa pengawet atau bibit dengan rekayasa genetika? Bisa jadi kita memilih produk karena kacaunya media massa yang meracuni kita untuk membeli ini membeli itu?

Saya musti sedikit demi sedikit ikhlas, untuk tidak menggunakan sabun cuci dengan busa melimpah karya pabrikan. Karena musti menggantinya dengan klerak atau sabun sereh bikinan tangan. Untuk mandi, pelan-pelan meninggalkan sabun penuh detergent yang wanginya entah terbuat dari kimia apa. Juga untuk odol, rela menikmati odol asin homemade dari Malang yang 100% bahannya alami dan buatan tangan.

Semata-mata ini adalah bentuk anti kemapanan. Pemberontakan dalam pilihan produk rumah tangga. Apalagi yang bisa kami kerjakan, kalau dalam hidup berumah tangga saja sudah tidak memiliki akal fikiran dalam menggunakan produk rumah tangga?

Hidup kami memang ribet, kalau urusan pilih memilih. Pertimbangan kami, pertimbangan ideologis.

ke 62


Sugeng Tumbuk Ageng, Mbah Nun.

Saya bercita-cita bisa menuliskan cara berfikir panjenengan tentang pendidikan anak. Baik dahulu panjenengan dari Ibu maupun sekarang kepada anak-anak panjenengan. Ah, semoga pelan-pelan, saya bisa menata huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat.

Semata-mata, warisan untuk anak cucu kita.

Lepas Gondrong

Saya memulai memelihara rambut setelah menikah. Atau lebih tepatnya membiarkan rambut terurai panjang. Padahal, dulunya hampir 3 bulan sekali rambut saya selalu bertemu makhluk bernama gunting. Apalagi memang ibu saya seorang tukang cukur.

Jadilah sekarang saya gondrong, bukan main. Saya jarang keramas. Itu yang membuat istri saya ngomel-ngomel. Ibu saya tak kalah pula. Ikut-ikutan saja. Terlebih mungkin harga dirinya sebagai tukang cukur ternoda. Melihat anak lelaki satu-satunya berambut panjang tak terawat.

Padahal saya juga sudah berusaha mencari literatur bagaimana cara merawat rambut secara tepat. Tapi lagi-lagi, ilmu memang kalah dengan tindakan. Saya kalah oleh kemalasan saya sendiri.

Tapi saya memang berjanji, saya mau cukur rambut jadi pendek bila perlu cepak, kalau nantinya istri saya hamil anak kedua. Ini sudah dua tahun lebih setelah pernikahan. Kalau nanti anda bertemu saya sudah berambut pendek, anda sudah tahu jawabannya.
Dan ibu saya akan senang melihat anaknya rapi kembali. Istri saya juga tak ngomel-ngomel lagi. Dan Bumi bisa pangling lihat ayahnya. Adiknya kelak, mendapati ayahnya rapih.

Mungkin sebentar lagi.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Mari kita pilah satu persatu saja perasaan kita. Bagaimana sewaktu ketemu dengan pengemis? Bagaimana menghadapi pejabat korup? Bagaimana saat menemukan uang di masjid? Bagaimana saat tertinggal 5 menit naik kereta api eksekutif? Bagaimana saat menerima kabar baik dari kawan? Atau bagaimana ketika tahu lawan bisnis kita bangkrut?

Kita harus tahu dan memahami peta fikir dan perasaan kita. Kalau mampu kita olah, baru bisa kita di sebut khalifah. Khalifah atas diri kita sendiri.

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

kerja kerja

Bekerja itu bukan semata-mata beraktivitas yang menghasilkan keuntungan materi. Bekerja itu berkarya. Membangun peradaban. Melaksanan tugas langit. Mengaplikasikan praktek membumi.

Lalu, apa menulis bukan bekerja?


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

perdikan.

Selanjutnya mungkin proyek kafe. Memang sudah menjadi cita-cita, saya dan Rizky membuat kafe. Dan bisa jadi ini adalah jalannya.

Ada sebuah tempat bagus di pinggiran kota Purbalingga. Cukup bagus, cukup strategis. Pelan, saya sudah bisa menempatinya.

Selanjutnya tinggal menyasar saja, siapa target pasar dari kafe ini. Selain tempat minum, nantinya mau ada diskusi rutin, bedah buku, live music sampai nonton film bareng.

Niatnya bernama "perdikan, coffee and tea".

Sepertinya bisa berjalan. Ini sudah langkah pertama.

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Ttg Klh

Sekeras apapun kehidupan menempamu, tahanlah. Seburuk apapun keadaan menimpamu, nikmatilah. Kalau sampai mengeluh, itu tandanya kamu kalah.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Rindu.

Pagi ini tiba-tiba saja saya merindukan Belik. Desa kecil selatan gunung Slamet yang menjadi tempat kelahiran saya. Udara pagi ini tepatnya. Mirip sekali.

Dingin. Penuh orang bersarung. Lalu lalang kendaraan bak terbuka membawa sayuran dari lereng gunung. Ojek bersliweran membawa para pembeli pasar.

Ada soto Kang Roni di pojok pasar. Ada kios kopi dan rokok di seberangnya. Warung-warung berderetan. Penjual emperan tak kalah ramai.

Ramai ini karena hari pasaran. Semua orang turun ke pasar. Membawa komoditas terbaiknya.

Saya seperti ada di depan sebuah toko kelontong, menikmati sarapan nasi sayur waluh dan kerupuk mireng. Duduk di kursi santai karena memang sedang santai.

Belik tanah leluhurku. Dan tiba-tiba aku merindukannya. Udara dingin, mirip sekali.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

biyah

pernah suatu kali si bumi kena 'biyah' di sekujur badannya. bentuknya seperti keringat buntet, beberapa ada seperti bisul kecil, berbintik. 'biyah' ini katanya musiman, terkana udara panas. saat itu memang bumi sedang ada di cilacap. bukan main kami repotnya, kasihan juga melihat anak seumur purnama kena 'biyah' di sekujur badan.

Subjek Informasi

Anda jadi masyarakat informasi hati-hati. Anda pikir Anda sudah tahu segala informasi gara-gara Anda browsing-browsing. Itu bukan pengetahuan, tapi Anda jadi korban informasi.

Kalau Anda ingin menjadi masyarakat informasi, Anda juga harus jadi sumber dari informasi. Pokoke upload-upload terus tanpa Anda membuka lagi informasi yang Amda sebarkan. Hal itu saya lakukan dengan Kiai Kanjeng. Itu baru Anda disebut sebagai subjek informasi, bukan korban informasi.

Pokoknya upload kebaikan-kebaikan, tanpa perlu peduli dan tahu apa respon dari komentator.

Muhammad Ainun Nadjib

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Rumah Pak Sugeng

Belakang bersih. Kolam digeser. Atap pasang paranet. Pasang exhaust fan. Kamar mandi dikeramik. Dapur dirapikan. Batu-batu ditata. Karpet digelar.

Apalagi?


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Melihat Hitam

Yang merah menjadi hitam. Yang putih menjadi hitam. Yang biru menjadi hitam.

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Pintu

Kucari ilmu
Kudapat pintu
Kucari pintu
Kudapat kunci
Kucari kunci
Kudapat diri

Hilmy Nugraha
@hilmyhilmyx
- sent from my Lenovo Android


Sejenak Puisi

Kan kurangkai kata
Untuk padu padan arti
Ini puisi
Tempatku menyelam
Jauh ke diri
Cari sejati


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Cari-cari

Umbu mencari Tuhan melalui kata
Emha mencari Tuhan melalui pertemuan manusia
Nasirun mencari Tuhan melalui goresan kuas
Hawking mencari Tuhan melalui fisika
Toto Rahardjo mencari Tuhan melalui gerakan sosial

Aku?
Aku mencari Tuhan melalui mereka semua


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Tentang Akik

Aku mencari Tuhan di sela-sela batu
Aku mencari batu di sela-sela Tuhan


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Sayuran Segar

Betapa beruntungnya kita bisa hidup di daerah tropis. Dimana sayur-sayuran bisa kita petik setiap pagi, buah-buahan bisa kita nikmati setiap musim. Dan yang pasti harganya murah. Lebih murah dari apapun.

Istri saya bercerita tentang gaya hidup dengan pola makan 'raw food'. Dimana pelakunya memakan makanan mentah, baik sayuran maupun buah-buahan. Ini dikarenakan tempat mereka tinggal, jauh dari sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Mahal luar biasa. Makan daging setiap saat, dan makanan instan sebagai cemilan. Hancurlah itu pencernaaan dan rusaklah itu antibodi tubuh. Pada akhirnya, mereka perlu detoksifikasi dengan pola makan 'raw food' ini.

Disini? Hampir setiap hari kita bisa makan sayuran segar setiap saat, dan murah pula. Pencernaan kita kuat, tubuh kita kebal penyakit. Baru akhir-akhir ini kita melemah. Berbagai penyakit aneh muncul dimasyarakat. Padahal, jaman leluhur kita dahulu, itu tidak ada.

Diam-diam, orang barat mempelajari gaya hidup dan pola makan kita dan serius mengaplikasikannya di keseharian. Pelan-pelan pula, kira dijejali berbagai macam makanan instan yang justru menciptakan penyakit-penyakit aneh saat ini. Kalau seperti ini, apa bukan konspirasi global namanya?


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

bumi.bumi.bumi

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Ketemu Pak Ratno

Terakhir kali ketemu mungkin saat saya masih jadi anak kampus. Kami ngobrol ngalor ngidul. Dia cerita tentang anaknya yang juara lomba nyanyi tingkat SD. Saat pamer foto anaknya, saya lihat aura bangga dan rasa haru meliputi dirinya. Ya, apalagi sih yang paling bikin bahagia, kecuali lihat anaknya berprestasi.

Dan tadi, sewaktu di pasar, saya ketemu beliau kembali. Masih dengan muka lucu dan rambut semi botaknya, berjalan bergaya seperti biasa. Tidak ngobrol tidak apa. Hanya saling tegur sapa.

Pak Ratno seorang sekuriti di lingkungan kampus saya. Saya kenal beliau sejak saya duduk SMK. SMK dan kampus saya satu lingkungan, bisa dibayangkan, 8 tahun tak beranjak dari suatu tempat yang notabene tempat mencari ilmu. Tapi tidak bosan bagi saya, kalau bertemu orang seperti Pak Ratno.

Dia manusia. Sangat manusia biasa. Itu mungkin yang jarang saya temui di kampus. Banyak orang berat menjadi manusia. Sibuk menjadi dosen, bangga menjadi kaprodi, asyik sendiri menjadi laboran. Dan lupa menjadi manusia biasa.

Saya bisa menghabiskan berjam-jam ngobrol dengan Pak Ratno, dan itu tak tentu temanya. Kuncinya satu. Saya jadi manusia dan diapun jadi manusia. Bukan anak kampus dengan sekuriti.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Wisanggeni

Raden Wisanggeni mengenakan busana yang sangat sederhana, yaitu irah-irahan gelung sapit urang, sumping kudhupturi, dan memakai kain jangkahan satriya. Ia bermata liyepan, berhidung walimiring, dengan mulut berbentuk salitan tanpa kumis, serta dengan arah wajah lanyap. Bentuk jari tangannya driji jalma, posisi kakinya jangkah. Sunggingan badan berwarna emas, sedangkan wajahnya berwarna emas atau putih. Raden Wisanggeni mempunyai bentuk badan kecil, bersuara kecil, dan tidak dapat berbahasa jawa halus (basa krama).

Raden Wisanggeni berwatak jujur, sederhana dan apa adanya. Ia juga berwatak pemberani, bersuara lantang tentang kebenaran dan keadilan.

Nama lainnya Raden Jajahsengara, Bambang Pulungganadewa, Raden Pangruwatdewa. Tidak mempunyai pusaka apapun. Kesaktian Raden Wisanggeni adalah kebal terhadap api dan senjata apapun. Tempat tinggalnya di Kahyangan Duksinageni atau Hargadahana.

Ayahnya adalah Raden Arjuna, ibunya Bathari Dresnala. Cucu dari Prabu Pandhu dan Bathara Rama. Teman dekatnya adalah Raden Antasena. Akhir hidupnya adalah dengan cara mokswa, mati bersamaan dengan hilangnya raga.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Tedak Siten


Bumi menginjak Bumi


Hilmy Nugraha
@hilmyhilmyx
- sent from my Lenovo Android

garem sing jare disubsidi

Saat saya jalan-jalan sama Bumi di depan rumah pas ada petani sedang mempersiapkan kegiatan bertaninya. Ada beberapa karung disitu, yang isinya adalah pupuk. Dengan rasa penasaran, saya pun mengajak ngobrol pak petani ini. Tentunya tentang pupuk.

Kondisi petani makin memprihatinkan. Untuk mendapatkan pupuk itu sulit. Hanya toko-toko tertentu yang menjualnya. Dan hanya petani daerah itu saja yang boleh membelinya. Syaratnya KTP daerah tersebut. Yang repot pas di toko itu sedang tidak ada kiriman pupuk, lha ini musti mupuk pakai apa? Itu adalah pupuk subsidi negara. Kalau beli yang bukan subsidi harganya selangit bukan main. Pemerintah niat membantu, tapi pelaksanaannya tetep saja menyusahkan petani.

Pak Tani yang saya ajak ngobrol itu, musti cari pupuk sampai Purbalingga, biar tanamannya tetap terpelihara dan tumbuh subur. Harga tinggi, distribusi tidak merata, kapitalisasi subsidi. Semua ditimpakan ke petani. Hebat memang sistem ekonomi kita. Petani dibuat tergantung sedemikian rupa, sampai tak berdaya kalau pemerintah tidak memberikan bantuan. Kemandirian yang ditiadakan.

Lantas, negara ngapain aja? Ketemu petani 5 tahun sekali.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Obah Ora Mubah

Tiba-tiba saya musti lompat-lompat. Berlari cepat. Mengejar arah gerak lawan. Melempar bola ke kawan. Mendayagunakan seluruh kemampuan otot, dan itu seluruh tubuh. Kaki saya kencang seketika. Tangan saya pun demikian. Alhamdulillah, saya tidak perlu kram musti belum pemanasan.

Saya musti mengulang lagi pelajaran 15 tahun silam. Menyeimbangkan otak dengan otot. Intuisi dengan respon. Reflek dengan keputusan. Saya mengulang kembali.

Saya agak lupa melempar bola. Sedikit lambat reflek menangkap bola. Dan berkurang kesaktiannya dalam hal melompat. Terlebih melihat ukuran perut saya yang semakin berkembang.

Tapi setengah jam selepas itu, saya gembira bukan main. Saya masih diberi kesempatan bergerak bebas. Tanpa rasa sulit. Saya masih bisa bermain basket, meski terakhir kali bermain itu 5 tahun yang lalu.

Saya mantapkan. Musti rajin-rajin bergerak. Kata orang untuk menjaga kesehatan. Bagi saya yang utama, agar tak gampang sakit. Sama saja.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Mrihatin

Ketika kondisimu sedang terpuruk, sama seperti tangan yang sedang terikat. Yang diperlukan melepaskan diri. Kalau masih ada alternatif lain, jangan harap ini jadi pelarian.

Tirakat. Kuncinya cuma satu. Mbedal, nekad. Mengiba ke Tuhan, jalan prihatin. Bisa lewat puasa, sholat malam, ziarah, tapa kungkum, dan sebagainya.

Keprihatinanmu itu setoran ke Gusti Allah. Nek wes setoran, kowe lewih gampang lhe njaluk.

Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Panitia Pasar Bebas

Membuka lowongan siapa saja yang mau berjualan di pasar ini. Silakan saja. Mau jualan produk apapun pasti diserap. Dari obat ketombe sampai mobil mewah limited edition. Asal gambarnya menggoda. Membuat orang terpukau dan menjadi butuh. Tiba-tiba berketombe dan butuh mobil keren.

Pasar diciptakan benar-benar bebas. Tak ada regulasi. Hanya ada satu aturan. Yang bermodal bisa menguasai pasar. Asal punya kertas bergambar pahlawan cukup banyak. Pasar bisa dikondisikan.

Hari ini bisa ramai obat cacing, besok orang-orang menyerbu handphone layar sentuh, lusa dibuat saja motor sporty jadi tak sepi. Semua bisa diatur. Obat cacing, handphone, motor sporty tiba-tiba jadi barang primer. Mengalahkan beras dan ikan asin.

Orang-orang yang menguasai pasar cukup itu-itu saja. Hanya akar dibawah banyak. Dibuat banyak. Agar ramai dan kelihatan banyak. Padahal, mau beli kemanapun, yang untung tetap orang itu-itu saja.

Pembeli musti bekerja mati-matian mendapatkan kertas bergambar pahlawan. Diilusikan, tanpa kertas itu mereka tidak bisa hidup. Karena hidup itu adalah gaya, gengsi, eksis dan nomor satu. Setelah kerja setengah mati, dapat kertas, lalu segera tukar dengan hidup itu tadi. Termakan gambar-gambar menarik yang sudah diolah sedemikian oleh penjual.

Lalu dimana letak pangreh praja? Pemerintah?

Tidak ada pemerintah. Yang ada panitia pasar bebas. Ambil untung sedikit dari penyelenggaraan kegiatan. Lalu diam diujung ruangan, minum kopi dan baca koran.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Jadi Ibu

Jangan-jangan, kita lebih memilih jadi ibu bekerja daripada ibu rumah tangga, karena ibu bekerja jauh lebih mudah. Ibu bekerja dapat gaji, tinggal beli susu n bayar pembantu. Selesai.

Tanggung jawab jadi ibu berat sekali. Musti pegang anak 24 jam. Ngurus kebutuhan rumah, suami dan anak. Masak, bebersih rumah. Melayani rumah. Saking beratnya, enak kerja di kantor. Pulang beres.

Apa yang mereka cari? Pelarian hidup? Gengsi gaya hidup? Jenuh dirumah? Sayang akan titel sarjana? Ibu dirumah tidak keren? Karir adalah segalanya? Kemandirian?

"Tapi kamu lupa Hil, hidup itu berlapis-lapis. Itu kamu hanya satu lapis saja melihatnya. Bagaimana jika memang ibu harus bekerja, karena suaminya tidak bisa diandalkan? Gugur sudah semua teorimu.", kata teman saya.

Iya, bisa jadi.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Bumi dan Sabrang

Akan ada dua kali ketemu. Pertama pas lahiran Bumi, yang akan kedua pas ulang tahun Bumi besok April. Tepat setahun.

Momentum apa artinya? Saya sendiri masih mencari jawabnya.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Nandur Sayur

Saya musti pilih metodenya. Mau hidroponik, veltikultur atau konvensional biasa. Mau organik apa kompromi dengan pupuk dan pestisida kimia. Mau hibrida atau alami.

Selain itu juga tentukan apa yang mau saya tanam. Wortel, sawi, kangkung, bayam, tomat, brokoli, kembang kol, caisim, terong, cabai atau semuanya. Masing-masing berbeda sentuhannya.

Pilih juga mau belajar dengan siapa. Lewat buku? Internet? Atau pakarnya langsung? Bisa pilih salah satu atau kombinasi.

Yang terpenting justru malah motivasinya. Mau apa?
Yang jelas, penghematan, kemandirian dan saya percaya menanam itu menghaluskan hati, memdekatkan diri ke Tuhan.
Melihat tunas tumbuh, batang memanjang, daun menjulur, akar menancap, buah berkembang. Apalagi kalau tidak melihat Tuhan?


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Tuhan Maha Serius

Tuhan sangat serius menaruh debu pada sebuah daun jati di pinggir jalan. Tuhan sangat serius menaruh embun pada bunga putri malu di rerumputan lapangan. Tuhan sangat serius menciptakan kutu loncat di kasur kamar kita. Tuhan sangat serius membikin salak sehingga sama seriusnya membikin durian. Tuhan sangat serius membuat air turun ke bumi menjadi hujan. Tuhan sangat serius menjatuhkan daun kering depan rumah kita. Tuhan sangat serius mengalirkan air dari gunung ke lautan. Tuhan sangat serius menggelar langit berlapis-lapis. Tuhan sangat serius menciptakan hal-hal yang kita sepelekan. Tuhan sangat serius menciptakan segala kejadian-kejadian di depan mata kita.

Tapi kita iseng melihat keseriusan Tuhan.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Mengutuk Jakarta

Diam-diam kita mengutuk Jakarta tapi pikiran kita patuh terhadap anjurannya. Diam-diam kita membenci Jakarta tapi hati kita tunduk dari perintahnya. Diam-diam kita memusuhi Jakarta tapi gerak kita tidak lepas darinya. Diam-diam kita mengkafani Jakarta tapi sebenernya nafas kita masih disana. Diam-diam kita membunuh Jakarta tapi jiwa kita terus memupukinya dengan harapan.

Jakarta sudah habis.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Gondrong Gundul

Hal aneh bisa berasal dari kontradiktif akan satu hal dengan hal yang lain. Dan ini terjadi pada saya dan Bumi.

Ketika kemarin berjalan-jalan ke Aroma, sekedar membeli tepung sagu dan butter salt free, Bumi kududukkan di keranjang dorong. Lucu bukan main mukanya.,Bumi usai bercukur rambut, gundul plontos jadinya. Terkadang jail juga, ambil barang sana sini ikut dimasukkan ke keranjang. Tapi mungkin yang lebih menarik bukan itu. Ketika saya mendorong kereta belanja, mata penjaga dan pembeli 70% memandang kami.

Lah yo piye, anakke gundul bapakke gondrong. Opo tumon?

Saya sengaja memanjangkan rambut sebagai tanda kebebasan. Dan Bumi sengaja ku cukur sebagai belajar disiplin. Plus agar rambutnya tumbuh makin lebat.

Gon Gun!


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Gagap Masyarakat

Setelah obrolan panjang dengan Pakde Jani, kakak tertua dari ibuku, di Belik, tiba pada simpulan bahwa kuliah memang keren, tapi tidak guna-guna amat. Simpulan ini belum selesai, jadi jangan marah dulu.

Apabila kuliah hanya ngampus kosan dolan saja. Mahasiswa yang lurus-lurus di kampus juga hidupnya akan monoton. Bisa jadi ia cemerlang di kampus, tapi di luar belum tentu. Gaya hidup anak kampus sekarang membumbung tinggi, nongkrong di cafe, belanja di distro yang hampir ada di sekitar kampus, bikin mahasiswa lupa tujuannya kuliah.

Yang rajin pun, cuma kosan kampus kosan kampus saja. Peduli nomor satu hanya kepada dirinya sendiri. Nilai, IPK, kelulusan. Mana mungkin melek terhadap kondisi sekitar.

Akhirnya, kampus cuma jadi menara gading penghasil sarjana tapi gagap terhadap masyarakat. Mereka tidak lanyah berbicara di depan umum, komunikasi personal dengan orang tua, identifikasi permasalahan di masyarakat bahkan merasa lebih pintar dari masyarakat. Ketika lulus, bingung mau mengerjakan apa, padahal beribu pekerjaan masyarakat didepan mata.

Hm, jadi ingat ada slogan menarik. "KULIAH BAE, KAPAN SINAUNE?". Benar adanya. Mahasiswa kita jauh dari sinau, nyinau ke masyarakat apalagi nyinauni masyarakat.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Cikal - Iwan Fals

Kerbau dikepalaku ada yang suci
Kerbau dikepalamu senang bekerja
Kerbau disini teman petani

Ular dinegara maju menjadi sampah nuklir
Ular didalam buku menjadi hiasan tatto
Ular disini memakan tikus

Kerbauku kerbau petani
Ularku ular sanca
Kerbauku teman petani
Ularku memakan tikus

Kerbauku besar kerbauku seram
Tetapi ia bukan pemalas
Hidupnya sederhana

Sancaku besar sancaku seram
Mengganti kulit keluar sarang makan dan bertapa
Hidupnya sederhana

Ularku ular sanca
Kerbauku kerbau petani
Ularku memakan tikus
Kerbauku teman petani

Walau kerbauku bukan harimau
Tetapi ia bisa seperti harimau
Kerbauku tetap kerbau
Kerbau petani yang senang bekerja

Sancaku melilitnya
Kerbauku tidak terganggu
Karena sancaku dan kerbau
Temannya petani

Lalu dimana anak anak sang tikus?

Bayi bayi bayi
Murni dan kosong

Bayi bayi bayi
Bayi ya bayi

Kalau kita sedang tidur dan tiba tiba saja kita terbangun
Karena lubang hidung kita terkena kumis harimau
Mungkin kita akan lari ya lari
Tetapi bayiku tidak

Bukan karena bayiku belum bisa berlari
Aku percaya
Aku percaya

Bayiku tidak akan pernah berfikir
Bahwa harimau itu jahat
Bayiku menarik narik kumis
Dan memukul mukul mulut harimau
Harimau malah memberikan bayiku mainan

Bayiku menjadi bayi harimau
Bayi harimau anak petani
Seperti sanca melilit kerbau
Ia ada di gorong gorong kota

Lantas apa agamanya?

Kerbauku kerbau petani
Ularku ular sanca
Bayiku murni dan kosong
Ia ada di gorong gorong kota

Kerbauku kerbau petani
Ularku ular sanca
Bayiku bayi harimau
Ia ada di gorong gorong kota

Bayi bayi bayi
Murni dan kosong

Bayi bayi bayi
Bayi harimau

Bayi bayi bayi
Yang berkalung sanca

Bayi bayi bayi
Yang di susui kerbau

#lirik dan lagu ini sering saya nyanyikan untuk Bumi.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Penggemar Remah-remah

Ini hanya sebuah metodologi. Sebuah strategi. Jadi tak pantaslah jika didewa-dewakan. Toh bukan ini tujuannya. Ada yang lain.

Bunda baru saja menerapkan sistem makan kepada Bumu yang menurut saya cukup aneh. Meskipun juga cukup logis. Bumi setelah umur 6 bulan, menginjak pada usia yang harus mulai dikenalkan dengan makanan. MPASI, makanan pendukung air susu ibu. Makanan yang dikenalkan tentu tidak langsung martabak, rujak atau capucino cincau. Ya bertahap. Mulai dari buah, sayuran, nasi, daging, dan seterusnya.

Setelah belajar, kami mantap menggunakan metode BLW, baby lead weaning. Intinya, bayi memakan sendiri apa yang ada didepannya. Kita tinggal potong-potongkan saja makanannya, tidak perlu dilembutkan. Hanya dikukus. Lalu bayi akan mengambil sendiri makanannya dan memakannya langsung.

Positifnya, dia lebih tahu takarannya dia. Dan mempercepat belajar makan sendiri. Logikanya, mereka sebenarnya punya insting dalam makan, yang justru kadang kita matikan sejenak dengan memberinya makan tidak sesuai ukurannya.

Semenjak itu pula Bumi makan sendiri. Hampir tidak pernah disuapin. Ketrampilan tangannya berkembang cepat. Mengambil makanan tidak salah, langsung dimasukkan ke mulutnya. Lucu bukan main. Nah, begitu ahlinya mengambil makanan, maka ketrampilan selanjutnya setelah mencomot (besar) adalah mencimit (kecil).

Lalu sekarang, apalagi yang dilakukannya kalau bukan operasi sapu remah-remah makanan? Kalau dilarang, malah merangkak menjauh dengan cepat ditambah mlengos. Lah ya bukan marah, tapi malah bikin ketawa kita. Remahan kentang, wortel, nasi, brokoli, tomat dan lain sebagainya. Pernah kemarin makan tanah, batu sampai bebek-bebekkan. Prestasi terakhir makan semut ambil sendiri di ujung pintu.

Fuh, kamu manusia nak, bukan trenggiling!


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Logika Tani

Diawali dengan kegelisahan Pak Onos akan sawahnya yang luas, tapi susah mendapatkan buruh tandur. Dilanjutkan pada workshop bersama Pak Toto. Semua kita bahas satu persatu prosesnya.

Alhamdulillah, kemarin di Jogja sempat ketemu Cak Dil dan mendapatkan ide segar yang brilian untuk bisa minimal mengatasi awal segala permasalahan ini. Nah kemudian, proses dilanjutkan dengan diskusi internal kami di malam jumat.

Mas Agus menjelaskan bahwa seperti ini tugasnya negara. Menjamin petani bisa hidup. Bukannya mematikan mereka dengan mendukung pabrik-pabrik berdiri dan perumahan-perumahan dibangun. Mas Rifangi, yang memang bertani, bercerita tentang keheranannya dia, kenapa orang tidak bangga bertani. Malah justru memilih menjadi buruh pabrik bulu mata palsu.

Diskusi itu cukup panjang. Dalam diskusi malam jumat kemarin, saya menemukan titik point yang saya anggap cukup apik. Pak Hono cerita, kalau dia dapat warisan berhektar-hektar kebun singkong di Pengadegan, Purbalingga. Seharusnya, tani singkong kan untung, batang singkong yang hanya beberapa centi bisa tumbuh menghasilkan 1-3 kg singkong. Ini kan nilai tambah yang luar biasa. Tapi sampai saat ini, masih tetap rugi.

Ada apa ini? Logikanya, padi dari berapa butir bisa menjadi ratusan butir. Lalu, kenapa masih juga tidak untung?

Ada yang salah. Dan itu ada pada sistemnya.

Mari Mengkaji!


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Salah Pilih

Sesaat waktu awal muncul disubya-subya sedemikian rupa. Dipertengahan jalan sudah dicaci kembali oleh pendukungnya. Katanya si bentuk kepedulian pendukungnya, tapi saya pikir itu agak putus asa.

Berapa kali rakyat Indonesia masih salah pilih. Melihat baik sedikit, tidak kita cek lagi seperti apa motivasinya. Kurus lebih Indonesia daripada yang gemuk. Mungkin karena masa lalu kitapun salah pilih pemimpin, pilih yang gemuk dan penuh gizi.

Turun ke rakyat dibilang luar biasa, lha wong itu tugasnya kok. Anti korupsi dibilang keren, lha itu kan kewajiban semua to. Jujur kok hebat, lha kan manusia kudu jujur. Apa yang luar biasa? Apa yang keren? Apa yang hebat?

Saya curiga, ini tidak sampai lima tahun.

Ah, kita lihat saja.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Didatangkannya Pak Onos

Pak Onos orang kejawen. Dalam pikirannya, segala bentuk ritual tradisi adalah kewajiban kita terhadap manusia. Beliau tidak lepas dari tradisi memberikan sesaji. Dari kopi pahit, bubur abang putih, kembang setaman, rokok klobot sampai daging ayam cemani sudah pernah ia sembahkan. Bukan sebagai apa-apa, melainkan penghormatan kepada leluhur.

Segala macam tirakat sudah pernah dilakukan. Puasa weton, puasa mutih, puasa ngrowot, ziaroh makam wali, ziaroh petilasan, tapa laut, tapa gua, tapa tritikan dan apapun sudab pernah dia alami. Semata-mata sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

Tapi, setelah berdiskusi panjang bersama teman-teman, kami menemukan banyak titik yang tidak nyambung. Pak Onos tahu, bahwa segala macam tirakat mengantarkannya kepada terkabulnya keinginan. Tapi baru tahu, bahwa Allah lebih tahu atas kebutuhan diri kita. Dia Maha Melayani. Pak Onos tahu, bahwa sesaji adalah bentuk penghormatan kepada leluhurnya. Tetapi Pak Onos baru tahu, kalau itu semua hanya password untuk memasuki birokrasi Tuhan Semesta Alam.

Ada banyak hal yang menarik setelah Pak Onos datang. Pengethuan-pengetahuan kejawaan, ilmu leluhur, tradisi ritual kejawen, semua justru bermuara pada ketauhidan yang sejati. Itu mungkin tugasnya beliau datang pada diskusi kami. Sebuah konfirmasi akan hasil diskusi kami selama ini.

Lanjutkan!


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Kalah Logika

Saya pernah berdiskusi panjang dengan Mas Agus, Purbalingga. Sampai tiba pada sedikit simpulan bahwa "Kita ini adalah musa yang berkali-kali pingsan di bukit tursina kehidupan sehingga memerlukan pertemuan dengan khidir". Saya sejenak diam.

Iya benar. Disinilah logika mursyid dan kemursyidan itu dibutuhkan.

Maksudnya apa? Saya jelaskan kemudian. Otak saya masih buntu membahasakannya.


Hilmy Nugraha

@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Ngemat

Seorang pejalan Maiyah Youtube bertanya: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Setelah beberapa kali saya mengikuti pengajian Cak Nun melalui beberapa video KC di YouTube tiba-tiba saya setiap kali saya berpikir tentang berbagai hal pasti arah pikiran saya selalu tertuju pada sesuatu yang tanpa awal dan tanpa akhir, saya agak kesulitan ketika harus membuat peta-peta pikiran yang kongkrit, mohon do'a dan arahan singkat padatnya Cak
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

>>> Itu tahap, menuju pengutuhan pola pikir.

Kalau pengajaran kognitif, menginformasikan per penggal 'barang jadi'.

Maiyah 'melibatkan' ke komprehensi /komplek /dialektika /lipatan2.
Pikiran bekerja sendiri mengolah keutuhannya.

Kepercayaan tarik tambang dg kewaspadaan.

Iktikad baik (mental) dan kejujuran (pikiran) dan kesucian (hati) membimbing kita menuju pengutuhan (tauhid).

Nanti tiba2 kita kaget 'kesaktian Allah' di tangan kita.

(Mbah Nun)


@hilmyhilmyx

- sent from my Lenovo Android

Memperlakukan Matahari

Jangan terlalu membebani sekolahan, kampus, dosen-dosen dan skripsi atau keseluruhan dunia ilmu pengetahuan dengan harapan-harapan dan impian-impian. Jangan minta terlalu banyak kepada semua itu.

Kalau mencari ilmu, kearifan dan kemuliaan hidup, jangan andalkan itu semua. Lebih baik berharap kepada bagaimana caramu sendiri melihat dan memperlakukan matahari setiap pagi, dedaunan, tetangga, pasar atau impian-impian aneh setiap malam.

Mintalah ilmu kepada pemilikNya di setiap butiran udara.

(Mbah Nun)


- sent from my Lenovo Android