Kurikulum Hidup


Setiap murid di sekolah seharusnya memiliki kurikulum mata pelajaran sesuai dengan dirinya. Tidak bisa disamakan. Ini jika berkiblat pada pemahaman setiap manusia diciptakan berbeda dan spesial. Anak Papua seharusnya tidak sama mata pelajarannya dengan anak Kota Jakarta. Anak pantai belajar menjadi nelayan, atau anak gunung belajar berladang. Tapi tidak apa-apa. Jaman sekarang kan sekolahnya cukup sekolah-sekolahan.

Jika hidup adalah sekolah, tentu bukan sekolah-sekolahan. Si pembuat kurikulum tentunya tahu betul batas kemampuan muridnya. Kadar beratnya disesuaikan secara tepat sesuai kadar pengetahuan dan kedalaman dirinya. Si pembuat kurikulum tahu kapan tepatnya ujian untuk pelajaran hidup diselenggarakan. Atau kapan juga rapor bisa diterima. Apakah bentuk balasannya hingga rapor merahnya, Dia tahu semua.

Kalau sudah demikian pemahamannya, setiap orang adalah murid, dan Tuhan itu gurunya. Kita ikhlas kapan ujian berlangsung. Tugas kita belajar, memetik hikmah setiap kejadian, menggali ilmu langit bumi, berteman dengan murid lainnya dan sungguh-sungguh mengerjakan ujian. Selanjutnya kita bisa naik kelas, naik tingkat. Bentuknya bisa naik derajat, martabat, dapat berkah, dan kenikmatan lainnya.

Tapi jangan lupa, setiap naik kelas pelajaran dan ujian akan bertambah levelnya. Tentu disisi lain kemampua kita pasti bertambah, dan relasi kita tambah banyak. Nah, rajin-rajin belajar dan sowan kepada kakak kelas. Mereka pasti mau mengajari kurikulum hidup kita. Supaya lulus dari ujian dari Dia.

25 Juni 2015

0 kata-kata: