Relevansi


Ketika saya diminta membikin kandang ayam oleh majikan tercinta saya, maka saya akan dengan seluruh tenaga, pikiran dan hati dalam mengerjakannya. Saya maksimalkan semua potensi dalam tubuh dan diri saya, sebaik mungkin mengerjakannya. Jika dijalan ada kurang-kurangnya, itu tetep akan dimaklumi oleh majikan saya, karena saya sudah pol-polan dalam bekerja.

Tapi jika tetap ada kekurangan, dan sepertinya itu memang kebutuhan dalam pengerjaan proyek besar saya ini, maka ya tidak apalah jika saya meminta majikan saya membantu. Contohnya, saya kurang bahan paku dalam kerja saya. Maka meminta paku kepada majikan menjadi relevan karena sesuai dengan tugas saya sebagai arsitek kandang ayam.

Tapi kalau ditengah jalan, saya meminta jus atau gorengan combro, ya sepertinya itu mengada-ada saja. Akhlaknya kok ndak pas yah. Kita diminta majikan, pekerjaan belum selesai, sudah meminta ini itu yang tidak berkaitan dengan tugas besar kita. Itu berkait jauh, tapi sebenarnya malah tidak berkait. Untuk alasan produktifitas kita meminta jus dan gorengan, padahal yang ada adalah nafsu saja meminta ini meminta itu.

Sama seperti hidup.

Kalau hidup adalah amanah penugasan besar terhadap manusia dalam proyek peradaban alam semesta, maka meminta sesuatu yang berkaitan dengan kerja besar peradaban menjadi relevan. Saya boleh meminta fortuner, rumah besar, harta melimpah sampai akses dimana-mana kalau memang tepat orientasinya. Tetapi meminta sesuatu karena nafsu ingin, diri sendiri itu seperti meminta jus dan gorengan pada saat majikan kita meminta kita mengerjakan kandang ayam. Tidak tepat konteksnya.

Kalaupun dalam hidup kita diberi "jus" kemudian oleh majikan kita, itu bukan kita yang meminta, tapi semata-mata karena majikan kita cinta. Indah to?

Seperti apa saya? Ya, kemarin ke Haramain, masih meminta ini itu. Masih kurang tepat.

Musti mengulang.

0 kata-kata: