Om Hao

Kulitnya putih, matanya sipit. Iya, dia peranakan tiong hoa asli Purbalingga. Selain memang tampangnya yang benar-benar China, diapun katholik taat. Tidak pernah telat sembahyang minggu. Berbuat baik me sesama. Juga ziarah ke beberapa tempat suci.

Yang saya herankan adalah persentuhannya dengan komunitas kami. Beliau sanggup duduk 6 jam bersama kami, dari pukul 9 malam sampai 3 pagi. Mendengarkan kami bershalawat ke atas Nabi favorit kami. Mengikuti alur diskusi kami. Duduk bersantai, ngerokok, nyamil sembari gendu-gendu rasa mengenai kehidupan.

Pun sama ketika saya temui kemarin di hajatan mas Hanif. Dengan santai penuh kelakar dia selalu meresahkan agama yang hanya dijadikan simbol, bukan aplikasi sosialnya. YouTube Cak Nun dan Kiai Kanjeng dibabatnya habis, ditonton secara rajin. Beberapa lagu shalawatnya hapal. Terlebih shalawat dengan aransemen musik gereja.

Kepada Mas Agus, dia bertakdzim penuh. Percaya betul kalau keputusan-keputusan kami adalah ketepatan berfikir. Apalagi kepada Cak Nun, pernah berkunjung ke Mocopat Syafaat dan selalu heran, kok ada tempat senikmat di Mocopat Syafaat. Apalagi beliau bisa bertemu Cak Nun.

Baginya, agama itu aplikasi sosial. Outputnya, masakannya bukan APA dapurnya. Ini juga yang membuat dia kurang disenangi oleh komunitasnya sendiri. Dimana agama dianggap hanya sebagai ritual.

Om Hao sedang mencari Tuhan. Mungkin disela-sela kesibukannya mengurus toko komputer di Purbalingga, dia masih menyempatkan diri mendengarkan musik Kiai Kanjeng atau YouTube Cak Nun.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

0 kata-kata: