membersamai

Saya mendongak keatas. Langit-langit ini langsung dengan atap rumah, yaitu seng. Panas, terasa panas. Ini do Jombang, baru mandi sebentar saja sudah gerah kembali. Saya lihat sekeliling, bangunan dari kayu semi permanen. Lantai floor semen separuh jadi. Perabot rumah tangga cukup sederhana, dan etalase dagangan yang jauh dari layak.

Ini warung, digunakan juga sebagai rumah tinggal. Ada dipan kasur diujung sana, kucel kumel tanpa perawatan. Ini jauh disebut layak huni. Apalagi disitu jualan makanan dan saya sedang mampir makan nasi rawon dan minum air putih hangar siang hari.

Tapi yang saya lihat bukan ketidaklayakan tempatnya, namun manusia didalamnya. Diatas dipan itu ada bapak, ibu dan 2 orang anak sedang bercanda riang. Dan ditengah panas. Si bapak meledek anak tersebut hingga tertawa-tawa, menular tawa itu ke adiknya. Si ibu memandangi mereka sembari berbaring.

Saya lihat muka mereka begitu lepas dan bahagia. Saya yakin, mereka penuh tekanan dan masalah. Bisa jadi si bapak penuh hutang dimana-mana. Ibunya lelah bukan main bekerja dari pagi hingga larut dengan uang seadanya. Tapi sepertinya mereka memang ahli mengatasi masalah demikian.

Saya sedemikian larut dengan pemandangan ini. Kekayaan yang mahal, bercegkerama dengan keluarga disiang hari. Bersentuhan fisik penuh canda tawa. Melihat wajah anak riang gembira, meski hidup seadanya.

Saya malah lebih sering menyaksikan, orang yang membuang-buang uangnya demi kebahagiaan keluarga namun tak kunjung bertemu dengan rasa bahagia. Habis uang berjuta-juta, tapi wajah tetap masam saja. Pergi hari libur buang uang, tapi hati mereka tak pernah selesai.

Kalau memang demikian, sejatinya apa itu bahagia?

Tabik,

Hilmy Nugraha

0 kata-kata: