Bengawan Sore - Manthous




Ning pinggiring bengawan
Tansah setyo ngenteni sliramu
Eling eling jamane semono
Wis ndungkap petung ketigo
Ning pinggiring bengawan
Saben saben mung tansah kelingan
Wus prasetyo ing janji kang suci
Ing lahir terusing ati
Sanadyan koyo ngopo manungso
Mung biso ngreko lan njongko
Gusti kang paring idi lan pesti
Kito sak dermo nglampahi
Ning pinggiring bengawan
Wayah sore tan soyo kelingan..
Gawang gawang esemu cah ayu..
Gawe sedihing atiku..

nb : Aku suka lagu ini, bikin damai di hati, hehe... 

Tak Tergenggam

Cinta, ditaburkan dari langit
Pria dan Wanita menengadahkan tangan
Berebut-rebut menangkapnya
Banyak yang mendapat seangkam
Banyak yang mendapat segenggam
Semakin banyak
Semakin tak tergenggam

-- andrea hirata

Akar Rumput

Mungkin bagianku tak selalu harus di atas. Bekerja di bawah pun sudah menjadi kesenangan bagiku. Kerjaku boleh di akar rumput, tapi jaringanku adalah batang-batang besar yang tersebar dimana-mana.

(Hilmy Nugraha, Juni 2011)

Oseng Mercon

Untuk M

Oseng-oseng mercon itu terasa panas.
Berdiri dihadapanku kawan-kawan sepermainan.
Merasakan osen mercon cuma sampai ke mulut,
paling jauh ya tenggorokan hingga lambung,
tapi tidak aku.
Sampai ke hati.

Kabar berita begitu cepat,
diawal berbahagia juga aku,
lama tak dengar suara plus kabar darimu,
diakhiri dengan kabar yang komplikasi
dilematis, kontroversi, dan apalah namanya

kau menikah, akhir bulan ini.

Oseng-oseng mercon, meledak seketika, di mulut, lambung, otak hingga ke hati.

7 Juni 2011
Menanggapi bulan lalu, yang, membahagiakan, ya?

Gelap

Tetaplah menjadi gelap, karena disitulah kau mengerti makna cahaya
(Hilmy Nugraha, Juni 2011)

Tentang Televisi

"Tahukah kau, kita diatur oleh TV?" 
dari puisi Seorang Pendo'a Amerika Jim oleh Jim Morisson 
"Televisi membawa pembunuh ke rumah di mana televisi berada." 
Alfred Hitchcock, sutradara film kelahiran Inggris 
"Televisi adalah wahana hiburan yang memungkinkan jutaan orang mendengarkan lelucon pada saat yang sama, dan tetap kesepian." 
T.S. Eliot 
"Televisi membawa kebrutalan perang ke dalam ruang keluarga yang nyaman. Vietnam takluk dalam ruang-ruang keluarga Amerika bukan di medan perang Vietnam." 
Marshall McLuhan 
"Ketika aku mendapat televisi pertamaku, aku tak lagi begitu peduli pada hubungan dekat." 
Andy Warhol 
"Jika tiap orang meminta kedamaian bukannya televisi, maka kedamaian akan terwujud." 
John Lennon

Riuh

Dunia sudah sedemikian riuhnya. Sangat disayangkan kita sendiri tenggelam didalamnya, namun tak mampu memahami setiap rinci yang terjadi, lupa akan mencari ke dalam diri, dan selalu hingar pada kenyataan.
(Hilmy Nugraha, Juni 2011)

Pertemuan Dengan Tan Malaka

"Bergabunglah pada kekuatan-kekuatan pembebasan yang nyata, yang ada di tengah-tengah kalian, seperti yang dilakukan oleh Tan Malaka" 
(De tribune, 7 Maret 1922)

Siang itu seorang laki-laki yang berwajah tegas dengan muka indah berjalan menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya dan dijabatnya tanganku dengan keras. "Namaku Tan Malak", begitu ucapnya sambil duduk disebelahku. Aku tertegun dan belum sempat ngomong ketika ia kemudian bilang, "Katanya kamu ingin bertanya banyak padaku?". Aku mencoba mengingat-ingat wajah seorang yang duduk di sampingku. Bajunya putih bersih dengan garis wajah yang diselimuti kabut. Tan Malaka, pria yang telah berhasil membuat bangsa ini memiliki keharuman. Tan Malaka, pria yang telah menuliskan banyak karya raksasa. Tan Malaka, seorang aktivis pergerakan yang menggoreskan berlawanan dengan kata-kata lugas.

"Ya, aku ingin bertanya dengan anda yang sering disebut-sebut sebagai seorang pejuang", tanpa ragu aku mengajaknya untuk bicara.
"Jangan kau sebut aku pejuang kalau apa yang aku dan teman-teman lakukan kalian sia-siakan", dengan muka lugas ia ucapkan kata-kata itu.

Aku tersentak dan sembari agak menjauh kulihat paras mukanya dari samping. Tulang pipi yang kurus itu masih menampilkan kerutan yagn teguh. Aku seperti menyaksikan seorang yang tidak pernah bisa dikalahkan oleh badai.
"Kalian telah menjerumuskan rakyat ini dalam penderitaan. Kulihat kalian mewarisi sifat-sifat para penjajah. Malah kalian bukan hanya meniru dengan persis tapi melebihi apa yang penjajah lakukan dulu".

Aku masih saja diam mendengar suaranya yang berat dan kering. Ikal rambutnya yang agak bergelombang dengan sorot mata yang keras itu membuatku yakin, kalau Tan Malaka adalah aktivis yang tidak pernah mememikirkan kepentingan dirinya sendiri.
"Kusaksikan kalian yang masih muda tidak punya keberanian untuk menentang kesewenang-wenangan. Yang kalian kerjakan tidak seimbang dengan penderitaan rakyat yang sudah melampaui batas. Kupikir tulisanku sudah cukup bisa mendorong kalian untuk melakukan tindakan, tapi ternyata aku keliru".

Tan Malaka kulihat menundukkan muka. Matanya melihat tanah hitam di bawahnya dan kemudian menengokku. Matanya memandang diriku seolah-olah aku makhluk unik.
"Apa yang kau kerjakan selama ini anak muda?", begitu tanyanya.

"Aku seorang mahasiswa yang juga aktif dalam dunia gerakan, aku sama sepertimu", begitu jawabku agak yakin. Tan Malaka menatapku tampak ragu dan berkata, "Ketika aku seusiamu kubikin sekolah rakyat yang tidak mengutip bayaran. Aku ajari anak-anak tiga pelajaran penting, ketrampilan agar mereka menajdi manusia merdeka, filsafat agar mereka tahu akar pengetahuan, dan berorganisasi agar mereka menjadi bagian dari pergerakan. Sayang orang-orang kolonial itu menangkapku jauh lebih cepat dari yang kuduga. Apa yang kau kerjakan sekarang anak muda?"

Agak terkejut aku dengan pertanyaannya yang tajam dan cepat. Kujawab dengan ragu-ragu, "Yang kukerjakan diskusi, sesekali aku ikut merancang demonstrasi dan pernah aku tertangkap polisi gara-gara membakar foto penguasa. Aku juga ikut mengorganisir rakyat miskin dengan mendampingi mereka dan memaksa agar parlemen bicara dengan mereka. Kini aku aktif di salah satu LSM".

Ia tersenyum dan kulihat kabut diwajahnya berangsur-angsur memudar. kali ini ia mendekat dena menepuk pundakku, "Dulu aku punya kawan yang wajahnya mirip denganmu. Namanya Semaun, ia seorang yang pintar dan berani. Kami percaya untuk mengangkat harga diri bangsa yang terjajah tidak ada jalan lain kecuali melalui pendidikan dan perlawanan. Kami berdua bikin sekolah dan aku diajaknya masuk Sarekat Islam. Apa LSM itu seperti Sarekat Islam?".

Aku tertegun dan bingung memberi jawaban. Sesungguhnya aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakan oleh LSM. Aku kadang disuruh nulis proposal lalu dibelakangnya ada anggaran dana yang jumlahnya besar sekali. Habis itu aku disuruh mengerjakan training, pelatihan bahkan pendidikan dengan honor dan biaya yang bisa utnuk membeli HP. Tapi aku malu menjawab pertanyaan Tan Malaka. malah aku kemudian ganti bertanya, "Apa yang dikerjakan Sarekat Islam?".

Tiba-tiba Tan Malaka memandangku dengan heran. "Aku yakin kamu tak pernah diberitahu apa itu Sarekat Islam. Inilah kekuatan politik pertama yang berteriak lantang melawan para penguasa kolonial. Kami terdiri dari anak-anak muda sepertimu. Kami ajak rakyat utnuk melawan setiap kesewenang-wenangan. Diberi nama Sarekat Islam, karena agama ini menolak untuk menjadikan orang menjadi budak. Hal yang kemudian dikerjakan pula oleh PKI. Kami dulu menjadi anggota Sarekat Islam sekaligus menjadi anggota PKI. Aku yakin cerita sejarah tentang itu tak pernah samapi ke telingamu. Zaman sudah banyak berubah dan kulihat nsaib bangsa ini jauh lebih buram. Aku banyak mendengar, kalau kalian sudah jadi penguasa yang menjajah rakyatnya sendiri. Rakyat itu kalian jadikan budak. Sekali lagi kalau kupandang muka para penguasa sekarang ini, aku jadi ingat muka para aparat kolonial dulu."

Aku hanya bisa tertunduk. Kuingat beberapa temanku yang menjadi politisi curang. Mereka aktivis partai tapi tidak punya gagasan besar untuk memerdekakan rakyat. Kuingat temanku yang menjadi kaum profesional yang juga terlibat dalam perskongkolan dengan para kapitalis.

"Kalian memiliki penguasa diktator yang kejam pada rakyat kecil. Menggusur tempat tinggal mereka, membuat pendidikan dengan harga yang mahal dan membebani rakyat kecil dengan ongkos kesehatan yang tinggi. Beberapa kali kulihat kalian ikut mensukseskan program yang didanai oleh bantuan asing dengan sikap yang loyal. Jika kau sebut dirimu seorang aktivis, perubahan sosial apa yang akan kau kerjakan anak muda? Kaudiamkan seorang pejabat yang kekayaannya melebihi pendapatan jutaan penduduk miskin. Kaubiarkan seorang pejabat tinggi bergaji 68 juta per bulan jauh melambung melebihi upah buruh. Apa yang selama ini kaulakukan anak muda?"

Lagi-lagi aku terdiam lama sekali. Kuingat-ingat apa yang pernah kukerjakan selama ini. Ikut dalam solidaritas teman-teman memantau anggaran. Ikut melakukan pengorganisiran terhadap pada pedagang kaki lima. Ikut serta dalam barisan oposisi menentang militerisme yang hendak berkuasa. Dan kadang-kadang ikut nimbrung dalam program demokrasi.

Tan Malaka memandangku dengan rasa iba. Seolah-olah ia tahu aliran pikiran yang kurasakan. Ia berdiri menatapku, lalu perlahan-lahan ia mengucapkan serangkaian kalimat :
"Anak muda apa yang kaukerjakan selama ini memang masih jauh dari kebutuhan rakyat. Kau dikepung oleh kekuatan kapitalis yagn tumbuh dan berpengaruh luas. Kulihat kau sendiri susah untuk mempertemukan teman-temanmu yang punya komitmen serupa. Kulihat jumlah kalian yang sangat kecil dengan ikatan disipling yang longgar. Anak muda organisasimu harus belajar banyak dari sejarah Syarekat Islam atau PKI. Dua kekuatan politik yang dulu mampu mengetahui kebutuhan rakyat. Rasa-rasanya kalian harus baca ulang apa yang kutulis dalam Aksi Massa, Madilog dan Gerpolek. Pahami pikiran kami bukan dengan pisau akademik semata melainkan dalam pisau gerakan. Pahami semangat dan spirit yang melandasi kami semua. Camkan bahwa struktur kapitalis hanya bisa dilawan dengan kekuatan pengetahuan dan kekuatan pergerakan. Pengetahuan yang mengabdi pada kepentingan rakyat bukan yang menjadi alat bagi penguatan sistem produksi kapitalis. Maka senjata gagasan harus kalian kerjakan lebih dulu. Disitu kulihat kalian malas. Tak pernah kubaca tulisan kalian yang menggugah dan memebri inspirasi rakyat untu melawan. Tak pernahkah dalam benak kalian untuk mendirikan pendidikan yang baik dan murah untuk melayani rakyat miskin? Anak muda kau adalah tumpuan rakyat miskin, jika kau ingin mengenal, memahami serta membela mereka, maka yang kau kerjakan hanya satu : hidup dan hayati kehidupan bersama mereka."

Ia menepuk pundakku dan melangkah pergi. Dari punggungnya kulihat ia berjalan bergegas. Aku berdiri ingin mengejarnya. Tapi langkah itu terlalu cepat dan ia menghilang di balik gubuk-gubuk yang baru digusur. Akh, Tan Malaka semasa hidupna ia bersama orang miskin dan kini kutemukan dirinya di tengah perkampungan miskin. Kampung orang miskin yang jumlahnya sangat padat dan penduduknya menjadi golongan yang dulu diperjuangkan kemerdekaannya oleh Tan Malaka. Tan Malaka, bagiku kamu adalah inspirasi yang tak pernah lekang oleh waktu. Menjadi martir untuk sebuah perubahan yang kini memakan korban anak bangsa sendiri. Andai kau masih di depanku tentu aku hendak mengatakan :
"Ya, kami memang tidak mampu melakukan seperti yang kau kerjakan. Kami berada dalam lingkungan pendidikan yagn busuk. Pendidikan yang tidak bisa membuat kami dekat dengan penderitaan rakyat. Intelektual kami hanya sibuk dengan urusan perutnya sendiri. Kami juga tidak memiliki pemimpinan gerakan yang berpandangan terbuka, bergerak progresif dan bisa memahami kebutuhan rakyat. Yang kami punya hanya pemimpin karbitan, pemimpin yang muncul sesaat dan tidak memiliki pikiran-pikiran besar yang menjangkau ke arah masa depan. Indonesia yang dulu kau perjuangkan kini sudah banyak berubah. Negeri ini menghasilkan kebusukan yang menyebar : korupsi, perdagangan anak, pembunuhan, kriminalitas, dan kemiskinan. Tapi kami anak muda, yang ingin berbuat seperti yang kau lakukan. Kami ingin melawan, melawan dan terus melawan. Terhadap penguasa yang diktator, aktivis yagn menjadi broker politik, intelektual yang melacurkan ilmunya dan preman yang menggunakan kekerasan pada rakyatnya sendiri. Itu yang ingin dan sedang kami kerjakan, Tan Malaka."

22 Juni 2011
16:39
Jemu - Armand Maulana
Tulisan ini di cuplik dari bukunya Mas Eko Prasetyo, berjudul : "Awas, Penguasa Tipu Rakyat!"

Ibu -Zawawi Imron



kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.

Belajar Jujur

Ternyata yang berat di dunia ini bukan jujur kepada orang lain, melainkan jujur kepada diri sendiri. Berapa kita sering menipu diri kita dengan topeng-topeng sikap, pelapis-pelapis tindakan, masker-masker tebal perbuatan, yang sebenarnya jauh sekali dari diri kita.

Aku baru menyadarinya kemarin. Aku sendiri penuh topeng. Berlaku tidak sesuai dengan hati ini. Satu persatu topeng ini terbuka lepas dan diketahui oleh orang-orang disekitarku.

Mungkin kelak hanya beberapa manusia saja yang akan aku ijinkan tau tentang siapa sebenarnya diriku. Jika dihadapannya, kita harus telanjang, melepaskan semua topeng yang menempel pada diri. Pun kepada Allah, Dia Sungguh Maha Tau segalanya.

2 orang itu kemarin mengajarkanku untuk jujur pada diri sendiri. 2 orang yang selalu lucu dan menggemaskan. Aku selalu bersyukur, bisa dipertemukan dengan mereka. Barakallah...

11:19
21 Juni 2011
Menjadi Jujur.

Kapan?

Iseng-iseng aku main ke twitternya Adhi, dan membuka beberapa timeline-nya dia. Aku menemukan pertanyaan menarik.

"Kapan terakhir kali ketemu mantan?"

Saat itu Adhi menjawab, "Kemarin, di taman pintar, jogja".

Kalau aku ditanya, "Kapan terakhir kali ketemu mantan?",
maka akan kujawab lantang, "Kemarin, pas dia nikahan".

21 Juni 2011
10:39
Meringis, saja.

Berpuas Diri

Yang kita perlu lakukan saat ini adalah bukan hanya mencari kekurangan dalam diri kita, kemudian menambalnya dengan kebaikan-kebaikan yang kita usahakan. Tapi kita juga perlu berpuas diri, dengan apa yang sudah Allah berikan pada kita.

Tampaknya ini yang sedikit kita lupakan. Terlebih untuk masalah fisik. Mereka mati-matian menambal apa yang mereka sebut dengan kekurang fisik mereka dengan sesuatu yang seharunya tak perlu diusahakan. Kita melihat sendiri, rambut yang sejatinya diciptakan Allah sudah baik, tapi kita rubah bentuknya menjadi bentuk lain. Hanya karena masalah mode.

Bawor/ bagong sendiri, tak pernah ingin menjadi gareng. Ya, sejelek-jeleknya bagong, dia tak pernah ingin menjadi gareng, yang sedikit lebih baik. Dia sungguh berpuas diri dengan apa yang Allah berikan padanya.

Kita kurang percaya diri, karena kita tidak pernah bersyukur, atas apa yang Allah berikan.

10:22
21 Juni 2011
Alun-Alun Nganjuk, dalam sebuah radio.

Wisdom Orang Jawa

Diskusi kami saat maiyah kemarin sungguh menarik. Cak Nun menerangkan bahwa kita, orang Jawa, sudah punya wisdom sendiri yang jauh melampaui jamannya. Kita seakan tidak perlu kitab lagi dari Tuhan, karena kecerdasan kita diatas rata-rata. Bahkan, nabi tak pernah turun di Jawa, karena disini manusia luar biasa bijaksana.

Bayangkan saja, manusia Arab harus memerlukan hadist dan ayat yang begitu panjang, untuk menjelaskan bahwa di dunia ini hanyalah sementara. Tapi manusia Jawa, sejak dulu punya idiom andalan, "Urip neng nduyo mung mampir ngombe". Ya, hidup didunia itu cuma mampir minum. Manusia Arab harus memerlukan hadist dan ayat yang begitu panjang untuk menjelaskan bahwa Allah tak akan mendzalimi kita, bahwa Allah memenuhi kebutuhan kita. Tapi manusia Jawa dengan penuh kebijaksanaannya hanya berkata, "Gusti ora sare". Ya, Allah tidak tidur.

Orang barat mungkin membutuhkan istilah save the earth, tapi kita punya idiom lama yaitu, hamemayu hayuning buwono.

Kebudayaan orang Jawa sudah lama mengalami puncaknya. Tembang mocopat, tembang yang penuh filosofi kehidupan. Wayang, syiar kebaikan yang penuh makna. Gamelan, kesempurnaan harmoni penuh dengan kebijaksanaan. Wow, kurang apalagi kita?

Hahaha, silakan boleh percaya atau tidak, boleh beriman atau tidak. Aku hanya sedang meracau, mbombongi ati, membesarkan hati....

21 Juni 2011
10:15
Mbombongi atiku dewe..

Sakit Perut Nabi Musa

Seketika itu Nabi Musa sakit perut. Padahal kondisi sedang gawat-gawatnya. Dia dan kaumnya sedang dikejar oleh pasukan Fir'aun. Nabi Musa merintih kesakitan, sambil mengeluh kepada Tuhan, "Ya Allah, masih saja kau berikan sakit perut ini disaat yang panik ini, mbok ya nanti aja. Apa yang harus kulakukan sekarang?". Kemudian Allah menjawab dengan bahasanya, yang hanya bisa dipahami oleh Nabi Musa, "Pergilah ke bukit itu, dan makan daun dari pohon yang ada disana!". Nabi Musa tak sempat berfikir apapun. Dia bergegas pergi ke bukit, dan mencari daun yang disebutkan Tuhan. Nabi Musa menemukannya. Belum sempat memakannya, Nabi Musa sudah sembuh, tak sakit perut lagi. "Wah, memang Tuhan Maha Penyembuh!", batin Nabi Musa.

Nabi Musa pun turun kembali, hendak melanjutkan perjalanan. Baru beberapa langkah, perutnya kembali meraung-raung. Mengirimkan sinyal sakit ke otak. Nabi Musa sakit perut lagi. Tanpa pikir panjang, dia langsung pergi ke bukit. Sesampainya di bukit, dia makan banyak-banyak daun yang tadi Allah sebutkan. Yang terjadi bukannya kesembuhan yang didapat, tapi sakitnya justru tak kunjung membaik.

Nabi Musa berdoa kepada Allah, "Ya Allah, sudah kumakan daun yang Engkau sebutkan tadi, kenapa sakit perutku tak juga sembuh?". Allah menjawab doa Nabi Musa dengan bijak, "Hai Musa, untuk sakit yang pertama, kau berdoa padaku, dan minta petunjukKu, maka Ku tunjukkan baik-baik penyembuh sakitmu. Untuk sakit yang kedua, kau tak meminta apapun dariKu, dan kau mengambil keputusanmu sendiri, jadi Aku tak memberikan apapun padamu!".

Nabi Musa tersungkur, bersujud, lantas bertobat. Betapa kita kadang melupakan kuasaNya disetiap kejadian yang kita alami, salah satunya ketika kita sakit. Lebih percaya kepada dokter daripada kepada Allah, lebih beriman kepada obat daripada kepada kuasaNya.

10:01
21 Juni 2011
Ommwriter, mantap Dhi!

Lama Sekali

Lama sekali aku tak menulis. Jika dicarikan alasan, maka aku sendiri juga bingung akan mengeluarkan alasan apa.

Aku sedang tak sibuk Tugas Akhir, meski sebenarnya Tugas Pamungkas ini harus kelar akhir juli. Aku sedang tak sibuk jalan-jalan, meski beberapa kali ke jogja n semarang. Aku sedang tak sibuk baca buku, bergulat dengan kata, meski Arus Balik-nya Pram setebal 760 halaman ada dikasurku. Aku sedang tak sibuk berkomunitas, meski latihan gamelan seminggu dua kali cukup menyita energi dan waktuku. Aku sedang tak sibuk mengkonsep, meski sebenarnya ratusan ide bergumul dikepala. Aku sedang tak sibuk apapun.

Kemarin, aku hanya tak ingin menulis. Itu saja.

21 Juni 2011
10:50
Bergulat dengan waktu.

Lir Ilir - Ten2Five



ni lagunya ten2five, ndak sengaja aku dapet waktu cari-cari tentang srepeg manyura, materi gamelan dari pak bejo. video ini bagus, bikin makin cinta Indonesia. Keren!

Alasan Kenapa Harus Keliling Indonesia

"Keliling dunia itu biasa, keliling indonesia baru luar biasa."
Ini kata bapak teman saya.

Mencoba banyak hal baru adalah sebuah tantangan selama hidup saya. Saya terinspirasi benar oleh film yang berjudul " The Motorcycles Diaries". Film yang menceritakan perjalanan Che Guevara dengan karibnya mengelilingi Amerika Latin untuk mengetahui hal apa saja yang terjadi disana. Kemudian saya tercerahkan dengan berbagai ekspedisi yang dilakukan oleh teman-teman saya melalui Ekspedisi Garis Depan Nusantara maupun Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Yang kedua-duanya melakukan perjalanan berkeliling Indonesia untuk membuktikan betapa mahakayanya negeri ini.

Ya, saya harus melakukan sesuatu. Saya tak boleh berhenti pada tahap terinspirasi saja.

Bagi saya, berkeliling Indonesia merupakan 100 hal yang harus dilakukan sebelum saya mati. Saya bercita-cita untuk bisa mengunjungi sebanyak mungkin tempat di Indonesia, supaya mampu memahami, betapa indahnya negeri ini, baik alam, sosial maupun budayanya.

Saya ingin meninggalkan warisan pada anak cucu saya, orang-orang terdekat saya, dalam bentuk dokumentasi baik tulisan, foto maupun video, tentang Indonesia. Saya ingin sesering mungkin 'memperkenalkan kembali' Indonesia kepada orang-orang disekitar saya. Membangkitkan optimisme mereka, bahwa negeri ini indah, kaya dan berbudaya. Saya ingin membesarkan hati mereka, bahwa kita ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang besar.

Ini adalah cara saya mencintai negeri yang luar biasa ini.

"Cara terbaik mencintai negeri ini adalah menjelajah ke setiap pelosok Indonesia,  membuktikan bahwa negeri ini memang indah, kaya dan berbudaya, dan menyebarkan aura positif ini ke sebanyak mungkin orang." (Hilmy Nugraha)

just wkwkwk


Saya mah jujur aja.

Penjual nasi goreng: (Sambil menyerahkan bungkusan pesanan) "Mas, nanti kalau rasanya kurang enak, nggak apa-apa ya..."

Didengar oleh pelanggan lain yang kagum atas kejujuran penjual itu.




Pengunjung: "Bu, udah, bu... mau bayar..."
Pemilik warung: (siap mencatat) "Pake apa, mas?"
Pengunjung: "Pake duit, bu..."

Warung Tegal di belakang Mal Ambassador, didengar pengunjung lain yang ingin makan recehan.

Kirain mau pake jengkol...