Maksum

Namanya Maksum. Umurnya mungkin 40 tahunan. Pakaiannya tak pernah tak rapi. Necis. Rambut selalu disisir. Klimis. Namun yang mengherankan adalah dia selalu pergi bolak balik Banyumas Sokaraja. Mungkin sehari bisa 2-4 kali. Bukan untuk berdagang di pasarnya, namun memang hanya itu yang bisa dia lakukan. Setiap jalan dia menyapa orang dengan senyum ramah. Seluruh penduduk di pinggir jalan Banyumas Sokaraja sudah hafal akan dirinya. Maka jika orang asing melihat, tak ada yang tahu bahwa dia bisa dibilang 'tidak waras' oleh orang-orang disekelilingnya.

Sering aku menjumpai dia sedang berdialog akrab dengan tukang becak diperempatan. Atau sedang bercengkerama mesra dengan Polisi di sudut tikungan. Kadang juga aku melihatnya menyapa ibu-ibu di pasar. Siapapun dia sapa. Atau kadang yang menyedihkan, dipukuli oleh preman-preman pasar yang suka iseng.

Aku tahu, dia tak pernah mengganggu orang. Justru malah kadang suka membantu. Aku pernah melihat sesekali dia ikut membantu tukang sampah di pasar hingga dia harus membersihkan dirinya kembali, untuk menjadi klimis. Terlihat juga sewaktu dia membantu ibu-ibu membawa barang belanjaanya, namun sering ditolak karena takut merusak. Aku tahu, niatnya baik.

Berita tak menggembirakan datang dari kawan dekatku. Maksum tertabrak truk di Kaliori. Tubuhnya remuk, tak tertolong. Entah kenapa, seketika itu juga mataku berkaca. Entah. Hatiku leleh mendengar berita ini. Aku menangis untuk orang yang dianggap 'gila' oleh lingkungannya.

Aku belum sempat belajar banyak kepadanya. Pertemuan kita sebatas lemparan senyum dan balasan sapa seadanya. Aku belum sempat banyak berdialog dengannya. Aku belum sempat menimba ilmu padanya. Belajar tentang keikhlasan, belajar tentang suka membantu, belajar ramah kepada orang lain dan mungkin yang paling berat adalah belajar menerima olok-olokan orang lain.

Yang dianggap gila justru malah tidak pernah mengganggu orang lain. Yang dianggap tidak waras justru malah tidak pernah merusak milik orang lain. Yang dianggap sinting justru malah tidak pernah mencuri barang orang lain. Yang dianggap tidak dianggap justru malah tidak pernah, sekali-kalipun menyakiti hati orang lain.

Aku masih tertegun, membaca kepingan-kepingan ilmu yang tersisa. Mengais-ngais sisa hikmah dari semua ini.

Maksum, lelaki 'beda' yang terpinggirkan. Korban pemikiran masa sekarang. Bisa jadi dia lebih mulia dari para politisi senayan, meski sama necis klimisnya. Bisa jadi dia lebih mulia dari para pejabat pengumbar janji, meski sama-sama suka senyum. bahkan, bisa jadi dia lebih mulia dari kita, yang mengaku beriman tapi suka menyakiti.

Ukuran kemuliaan bukan dengan seberapa banyak yang kita punya, tapi seberapa banyak yang kita ikhlaskan hanya untuk-Nya. Dan aku pelajari dari seorang Maksum, meski ku tahu dia tak pernah sembahyang. Tapi aku tahu dan yakin, Dia Maha Adil.

terinspirasi dari cerpen : Wangon Jatilawang - Ahmad Tohari

080211
07:32
mendengarkan King of Convenience
ah, pagi ini, rasanya indah sekali.

3 kata-kata:

de' Fitri mengatakan...

ini beneran? atau cerita fiksi? innalillahi wainnailaihi roji'un. Allah Maha Adil!

Anonim mengatakan...

aku jadi pengen ketemu sama pa maksum juga...

Yuanita Handoko mengatakan...

dari ceritamu, jadi dapet pelajaran baru lagi