Kamso dan Darman duduk bersimpuh di beranda rumah bambu, mengamati langit yang mulai meredup.
Kamso: “Man, kau lihat sendiri kan, bagaimana desa kita berubah? Teknologi telah membawa arus perubahan yang tak terbendung. Aku khawatir, kita kehilangan esensi diri kita.”
Darman: “Aku tahu, Kamso. Semua berubah begitu cepat. Individualisme, materialisme, konsumerisme… itu semua seakan menjadi tuan baru yang menguasai pikiran dan hati warga desa.”
Kamso: “Tapi, Man, bukankah itu semua bagian dari keniscayaan? Kita tidak bisa menghentikan waktu. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah menjaga keluarga inti kita, komunitas terkecil kita.”
Darman: “Benar, Kamso. Itu memang tanggung jawab kita. Kita harus menjadi pemimpin yang baik, setidaknya untuk keluarga kita sendiri.”
Kamso: “Kita harus menunjukkan dengan teladan, bukan hanya kata-kata. Kita harus menjadi benteng bagi nilai-nilai yang kita percayai, agar tidak hilang ditelan zaman.”
Darman: “Aku ragu, Kamso. Apakah itu cukup? Apakah kita bisa melawan arus yang begitu kuat ini?”
Kamso: “Kita mungkin tidak bisa melawan arus, tapi kita bisa mengarahkannya. Kita bisa mempengaruhi keluarga dan komunitas kita untuk tetap memegang teguh nilai-nilai yang benar.”
Darman: “Aku berharap kamu benar, Kamso. Aku berharap kita masih bisa mempertahankan jati diri kita, meski dunia terus berubah.”
Dialog Imajiner #7
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 kata-kata:
Posting Komentar