Dalam kesunyian hati, Darman merenung dalam monolog yang mendalam:
"Di tengah keheningan malam, aku berdialog dengan kesendirian. Melihat negeri ini, hatiku berat oleh beban pesimisme. Kepada siapa lagi aku harus berpaling? Pemerintah yang seharusnya menjadi sandaran, kini bagai kapal yang terombang-ambing tanpa kemudi. Ulama yang dulu kukagumi, kini lenyap keikhlasannya, tenggelam dalam lautan materialisme. Ahli-ahli yang seharusnya menjadi penerang, malah menjadi penjerat bagi sesama.
Hanya pada-Mu, Tuhan, aku bisa mengadu. Hanya pada-Mu, aku bisa menumpahkan segala keluh kesah. Di saat semua tampak suram, hanya Engkau lampu di ujung terowongan. Harapan, meski secercah, harus tetap ada. Itu bukti iman masih bertengger di relung hatiku.
Biarkanlah harapan itu menjadi benih, tumbuh perlahan di tanah yang gersang. Biarkanlah ia menjadi tanda bahwa aku masih percaya, masih ada kebaikan yang akan datang. Ya Tuhan, dalam diam, aku berdoa, semoga Engkau menuntunku melalui kegelapan ini, menuju fajar yang penuh rahmat-Mu."
Dialog Imajiner #6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 kata-kata:
Posting Komentar