Kamso dan Darman duduk berhadapan, cangkir teh di antara mereka menguapkan aroma yang menenangkan. Kamso memulai dengan suara yang penuh kekhawatiran namun tetap tenang.
“Mon, lihatlah negeri kita. Di setiap lini, di setiap sendi kehidupan, tampaknya hanya kerusakan yang terlihat. Korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan merajalela. Namun, aku masih melihat sinar harapan. Keluarga-keluarga di Indonesia masih bertahan, masih ada rukun dan gotong royong yang menjadi fondasi kita.”
Darman menyesap tehnya, matanya menunjukkan keraguan. “Kamso, aku ingin percaya seperti kamu. Tapi, aku melihatnya sebagai pengecualian, bukan norma. Kita tenggelam dalam masalah yang begitu kompleks dan aku tidak yakin apakah semangat gotong royong saja cukup.”
Kamso menatap Darman, matanya bersinar dengan tekad. “Tidak, Mon. Justru di saat-saat sulit inilah kita harus menggenggam erat nilai-nilai itu. Gotong royong bukan hanya tentang membantu tetangga, tapi juga tentang membangun bangsa. Jika setiap keluarga bisa mempertahankan nilai-nilai ini, aku yakin Indonesia bisa bangkit.”
Darman menghela napas, masih belum yakin. “Aku berharap kamu benar, Kamso. Aku hanya takut bahwa kita terlalu optimis dan lupa melihat realitas yang ada.”
Kamso tersenyum, “Realitas bisa berubah, Mon. Dan itu dimulai dari kita. Dari keluarga kita, dari komunitas kita. Mari kita jadikan optimisme ini sebagai api yang membakar semangat perubahan.”
Dialog Imajiner #5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 kata-kata:
Posting Komentar