Jakarta Kali Ini

Saya musti melihat ribuan manusia. Ratusan kendaraan bermotor. Berpuluh-puluh gedung bertingkat. Dan satu kemunafikan.

Ada orang menawarkan sepatu disamping saya, orang Sunda. Ditangannya ada 6 pasang sepatu. Dicangklongnya tas besar isi penuh dengan sepatu. Saya yakin dia berjalan puluhan kilometer sampai sore tadi.

Ada orang sedang membersihkan tembok saluran air di daerah Senen. Tubuhnya penuh kotoran, lumpur pembuangan. Dari jauh saja sudah khas baunya, apalagi mereka berendam seharian disana.

Ada orang berkeliling berjualan kopi. Pakai sepeda. Dibulan puasa, tetap julalan. Toh yang tidak puasa tetap banyak. Rejeki dibulan suci.

Ada pegawai negeri, mapan. 50 % parkiran gedungnya isi mobil pribadi diatas tahun 2010. Hidupnya tenang. Tidak mewah, tapi cukup. Damai. Ibadah tenang.

Ada kaum pekerja. Sehari-hari bekerja demi makan sehari-hari dan gaya hidup weekend. Belanja di mall, makan di foodcourt. Padahal 80% asli daerah.

Ada ini. Ada itu. Semua ada di Jakarta.

Yang tidak ada? Yang apa adanya. Yang sejati. Angel nyarinya.

Kadang

Kadang, ini seperti di Meulaboh, Pantai Barat Aceh.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Kurikulum Hidup


Setiap murid di sekolah seharusnya memiliki kurikulum mata pelajaran sesuai dengan dirinya. Tidak bisa disamakan. Ini jika berkiblat pada pemahaman setiap manusia diciptakan berbeda dan spesial. Anak Papua seharusnya tidak sama mata pelajarannya dengan anak Kota Jakarta. Anak pantai belajar menjadi nelayan, atau anak gunung belajar berladang. Tapi tidak apa-apa. Jaman sekarang kan sekolahnya cukup sekolah-sekolahan.

Jika hidup adalah sekolah, tentu bukan sekolah-sekolahan. Si pembuat kurikulum tentunya tahu betul batas kemampuan muridnya. Kadar beratnya disesuaikan secara tepat sesuai kadar pengetahuan dan kedalaman dirinya. Si pembuat kurikulum tahu kapan tepatnya ujian untuk pelajaran hidup diselenggarakan. Atau kapan juga rapor bisa diterima. Apakah bentuk balasannya hingga rapor merahnya, Dia tahu semua.

Kalau sudah demikian pemahamannya, setiap orang adalah murid, dan Tuhan itu gurunya. Kita ikhlas kapan ujian berlangsung. Tugas kita belajar, memetik hikmah setiap kejadian, menggali ilmu langit bumi, berteman dengan murid lainnya dan sungguh-sungguh mengerjakan ujian. Selanjutnya kita bisa naik kelas, naik tingkat. Bentuknya bisa naik derajat, martabat, dapat berkah, dan kenikmatan lainnya.

Tapi jangan lupa, setiap naik kelas pelajaran dan ujian akan bertambah levelnya. Tentu disisi lain kemampua kita pasti bertambah, dan relasi kita tambah banyak. Nah, rajin-rajin belajar dan sowan kepada kakak kelas. Mereka pasti mau mengajari kurikulum hidup kita. Supaya lulus dari ujian dari Dia.

25 Juni 2015

Tuhan Aku Berguru

Tuhan aku berguru kepadaMu
Tidak tidur di kereta waktu
Tuhan aku berguru kepadaMu
Meragukan setiap yang ku temu

Kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan
Buta mata menganugerahi penglihatan

Jika aku tahu terasa betapa tak tahu
Waktu melihat betapa penuh rahasia
Gelap yang dikandung oleh cahaya


#EAN
Tabik,
Hilmy Nugraha
sent from smartphone


Bayi Dalam Sarung


Pernah suatu ketika dimana, bayi ini hanya bisa tidur kalau diayun didalam sarungnya Kakeknya. Bahkan ketika mudik ke Jogjapun, harus pakai sarung ini. Entah apa mantra dan sihir didalamnya. Sepertinya sih doa keamanan dan kedamaian.

*adegan diatas tanpa peran pengganti. Dilakukan oleh pemeran utama, Bumi.

Frustasi Berbuat Baik

Anda yang pernah hidup di daerah Singapura, Jepang atau Korea pasti tahu betapa tertibnya negara mereka. Tidak merokok sembarangan, antri jika menunggu sesuatu, bisa berhenti pada haltenya, bahkan yang ekstrim mereka tidak meludah sembarangan. Mereka negara tertib. Percaya betul bahwa setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Yakin betul bahwa setiap keburukan akan dibalas dengan keburukan. Sekecil apapun. Bukankah ini firman Tuhan?

Karena negara melindunginya. Negara menjamin orang yang berbuat baik, jujur dan kerja keras mendapatkan apa yang menjadi haknya. Disana mereka yang berbuat baik akan mendapatkan pelayanan terbaik oleh negara. Orang jujur pasti aman dan akan dicari-cari untuk diminta bekerja. Orang yang kerja keras dijamin oleh negara, mereka akan mendapatkan hak terbaik atas gaji, tunjangan dari negara.

Nah, disini? Jangankan jaminan. Orang berbuat baik sekarang malah dicurigai. Menyapa orang di angkot di kota besar bisa jadi modus kejahatan. Orang-orang terbaik negeri ini dibuang. Orang jujur malah hancur. Yang dijaga adalah mereka yang bisa membayar semuanya. Sekeras apapun kita bekerja, tidak akan dihargai oleh negara. Itu urusanmu sendiri. Tidak pengaruh. Ada tidak ada negara menjadi tidak ada bedanya. Apa tujuan ada negara? Kalau urusan ini saja tidak bisa mengurus.

Lalu orang-orang menjadi frustasi berbuat baik. Rajin berbohong. Malas bekerja keras. Apatis. kejahatan dimana-mana. Cara berfikir sehat kita terbalik sudah. Negara yang seharusnya menjamin ini semua menjadi malah berlawanan.

Tapi kalau kita hanya mengharap kepada negara ini, pasti jadinya hanya frustasi, putus asa dan kemenyerahan hidup. Sedang kalau kata Bung Karno diatas kekuasaan negara ini ada kekuasaan rakyat, dan diatasnya lagi ada kekuasaan Tuhan. Kita sering lupa ada Tuhan. Maka menjadi pasrah dalam kefrustasian.

Yakin saja, bahwa bisa jadi negara kita tidak menjamin balasan kebaikan yang kita perbuat, tapi Tuhan menghitung dengan teliti, menyimpan semua file perbuatan kita dengan detail dan membalasnya satu persatu dikondisi dan waktu yang paling tepat yang dirasakan oleh umat manusia. Itu kalau kita tidak atheis dan masih percaya ada Tuhan.


23 Juni 2015
Mendangarkan Swami.

Hadir

Niat yang kuat bisa mengantarkan kita untuk berpuasa 3 hari 3 malam, tapi sepiring nasi sebenarnya tidak akan cukup untuk jadi tenaga 1 hari.

Lalu, dimana energi itu sebenarnya hadir?

Tabik,

sent from smartphone

Niat Leyeh-leyeh

Kalau saya pergi bekerja, biasanya tujuan terbesar saya adalah santai setelah bekerja. Leyeh-leyeh sambil minum kopi, ngobrol ngalor ngidul, dan mendengarkan keroncong. Bahkan kalau bisa tidak bekerja malah santai sepanjang waktu. Ini mental terburuk manusia jaman ini. Saya sering mengalaminya.

Lantas apa yang salah? Ya salah. Karena kita belum bisa mengolah diri kita. Kenapa yang disebut leyeh-leyeh itu menjadi tujuan, sedang bekerja tidak? Dan yang terjadi adalah, ketika kita mendapat pekerjaan yang sebenarnya saat kita berniat santai, pikiran kita ruwet menggerundel tidak karuan. Niatnya apa dapatnya apa. Mau santai malah disuruh ini itu. Tidak sesuai keinginan.

Mengapa tidak bisa kita temukan kebahagiaan pada saat melakukan sesuatu? Mengapa tidak bisa kita temukan keindahan pada saat berkeringat? Mengapa tidak bisa kita temukan kenikmatan pada saat kelelahan bergerak? Mengapa tidak bisa kita temukan kesejatian pada saat menghadapi pekerjaan?

Saya rasa ini akar permasalahan etos kerja kita selama ini. Berjuta orang berniat santai untuk menjadi tujuannya. Akhirnya mati-matian bekerja tidak dengan menikmati pekerjaannya, tapi dengan angan-angan santai setelah itu. Lalu dibangunlah impian bahwa pekerjaan itu menyiksa, santai itu nikmat luar biasa. Jika ini berlaku, etos kerja manusia turun seturun turunnya.

Kalau hidup ini kita anggap pekerjaan dari Tuhan, apa iya kita diciptakan di bumi ini untuk santai? Sedang pekerjaan didepan mata, menata peradaban, mengatur bumi dan isinya, sesuai gelar kita, Khalifah di muka bumi.

Berat kan? Iya, kalau niatnya leyeh-leyeh.

23 Juni 2015
Sendiri di rumah. Sepi.

Puasa Internet

Kalau sudah mulai berseluncur di internet, rasa-rasanya kok tidak puas berseluncur saja. Bahkan kayaknya seperti mau menyelam saja. Tidak puas mencari hal yang seharusnya kita cari, malah merembet-rember hal-hal yang tak guna. Apalagi jika pakai paket internet yang unlimited. Apa-apa maunya dibuka, apa-apa maunya di klik, apa-apa maunya didownload.

Saya sering demikian. Ketika sedang searching tentang sesuatu, malah merambah ke hal-hal yang tidak berguna. Tiba-tiba membuka portal berita dengan isi kabar picisan. Berpindah ke youtube, musti download musik yang entah apa. Mampir ke torrent untuk download aplikasi yang gunanya buat apa saja tak tahu. Lalu tak lupa blogwalking tidak beraturan. Nah, yang dicari justru tidak ketemu, malah ketemu hal-hal yang lain. Yang tentunya tidak berguna. Atau bahkan jika berguna, itu sedikit sekali. Tidak signifikan dengan tujuan awal.

Lalu musti gimana kalau sudah seperti ini?

Kata Simbah sebenarnya gampang. Mung angel ngelakonine. Puasa Internet. Puasa disini bukan berarti tidak menggunakannya, tapi membatasi diri. Kalau memang butuh informasi tentang perang suni syiah ya tidak perlu merembet ke Denzel Washington atau Emma Watson. Kalau memang perlu untuk mendownload tutorial Cajon di Youtube ya tidak perlu membuka video National Geographic. Jika mengejar berita tentang Politik kok rasa-rasanya tidak penting mampir untuk lihat mobilnya Syahrini itu apa sekarang.

Butuh ini ya cari ini. Sudah dapat, selesai, tutup. Waktu tidak terbuang. Tenaga tidak terforsir. Pikiran tidak terbagi. Kalau sudah merembet-rembet itu main nafsu saja. Nah, pada dasarnya manusia hidup itu memang menahan. Ngempet. Disini letak puasa sebenarnya. Tahu proporsi, mana yang musti ditelan, mana yang harus tidak kita makan. Puasa Internet sepertinya gampang, tapi sebenarnya susah luar biasa. Apalagi bagi kita yang sudah [unya kebiasaan melampiaskan.

22 Juni 2015

Dalam Kesesatan


Saya masih belum paham. Mengapa orang begitu mudahnya menyesat-nyesatkan orang lain. Hal ini terjadi kepada beberapa golongan Islam yang mungkin mengaku dirinya paling benar. Atau mungkin mereka adalah teman baik Kanjeng Nabi sekaligus keponakannya Gusti Allah. Saya kurang paham. Tapi yang pasti, fenomena ini jelas adanya. Menganggap sesat, kafir, bid'ah, jahil, musyrik, sudah seperti sapaan harian saja.

Padahal dalam logika sederhana, orang kenyang tidak akan pernah meminta makanan. Orang yang meminta makanan adalah orang yang lapar. Logika kecil yang sangat sederhana. Jika diperluas kembali ke analogi yang lain, maka orang yang benar tidak akan pernah meminta diluruskan jalannya. Orang sesatlah yang meminta diluruskan jalannya. Sederhana?

Dan dalam ibadah setiap hari (saya rasa mereka juga beribadah juga), kita selalu meminta diluruskan jalannya. Dalam sholat, setiap Al Fatihah kita membaca "Ihdinas sirathal mustaqim", yang artinya tunjukilah kami jalan yang lurus. Dalam logika tadi, apa iya kalau kita sudah benar jalannya tetap minta diluruskan? Sama seperti orang yang kenyang tetap minta makanan?

17 kali dalam satu hari kita mengucapkan itu. Apa belum mengaku juga bahwa memang benar-benar kita dalam kesesatan? Atau masih bersombong juga bahwa kita sudah benar. Jika demikian adanya, tak usah lagi meminta jalan yang lurus, toh sudah benar. Dan tidak perlu sholat. Buat apa.

Saya memilih sibuk dalam kesesatan saya. Daripada sibuk memikirkan kesesatan orang lain. 17 kali sehari tetap bentuk evaluasi paling nyata atas potensi keburukan kita. Tapi jika mengapa mereka belum juga paham, lalu apa yang menimpa mereka? Bisa disebut tidak beruntung secara intelektual. Pelajaran logika saja tidak lulus.

22 Juni 2015

foto bersama


eyang, manah jembar membumi dan neyra kashfila zalikha adhisa

Fajar Hari

Ada bagian dari Indonesia yang sedang sedang memasuki senja dan siap tenggelam dalam di kegelapan malam, ada yang sedang memancarkan matahari baru di fajar hari.

Ada bagian dari Indonesia gegap gempita memuncaki kehancuran, ada bagian lain dari Indonesia yang tak kentara sedang menata kebangkitan.

Ada bagian dari Indonesia yang sedang riuh-rendah menyempurnakan kepalsuan, ada bagian lain dari Indonesia yang tersembunyi dari pemberitaan sedang merintis kesejatian.

Ada bagian dari Indonesia yang habis-habisan menyebarkan sihir, takhayul dan halusinasi, ada bagian lain dari Indonesia yang menaburkan kasunyatan kebenaran.

Ada bagian dari Indonesia yang mati-matian menyebarkan kecemasan, kesedihan dan pertengkaran, ada bagian lain dari Indonesia yang berkelana menyemarakkan persaudaraan, kesatuan dan kegembiraan.

Ada bagian dari Indonesia yang melemparkan sebagian bangsanya ke masa silam, ada bagian lain dari Indonesia yang merintis pembuatan fondasi dan batubata masa depan.

Di bagian fajar hari itulah saya hadir.

Yangon, 11 Oktober 2014.


Emha Ainun Nadjib

nyamuk yang ondol


dirumahku banyak sekali nyamuk. ada puluhan nyamuk yang datang setiap malam. aku sangat yakin tidak sampai seratus. aku anggap ini sebagai tamu istimewa. cuma kalau terkadang sudah kebangetan, aku tepuk satu persatu. yang kubunuh tidak sampai tiga puluh.

aku tidak suka obat nyamuk. dari namanya saja sudah salah. baunya aku tak suka, keampuhannya masih diragukan. untuk yang ampuh, baunya menyengat. untuk yang wangi, malah cenderung aroma terapi.

aku cenderung membasmi dengan cara radikal. membunuh satu persatu dengan tepukan. kukejar sambil lompat-lombat. kalau bumi melihat, dia suka dan tertawa. dikira aku sedang bermain dengannya. padahal aku sangat serius membasmi nyamuk. tapi, kuanggap juga ini bagian dari bermain-main dengan bumi.

anehnya, mereka seperti telat respon. segala gerakanku seperti tidak terbaca. reflek nyamuk mulai berkurang. aku dekati mereka, mereka diam saja. jadi, begitu mudahnya aku menepuk mereka. "ah, nyamuknya ondol", kata istriku. iya benar, dulu tidak seperti ini. tapi biarlah.

dua tujuan aku lakukan dalam membasmi nyamuk, melindungi bumi dari gigitan nyamuk dan mengajaknya bermain hingga tertawa.

#tulisanlama

Anak

Anak-anak jangan diatur sesuai dengan pikiran anda. Mereka bukan milik anda, mereka adalah milik Tuhan. Tuhan punya rencana kepada mereka. Kewajiban orang tua adalah meneliti apa kehendak Tuhan terhadap anak, dan mengawalnya supaya akhlak baik mereka terbentuk.

#EAN

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Kontemplasi

Ketika disuatu forum, kita semua ditanya satu persatu. Apa pikiran yang sedang sering melintas di otak kita akhir-akhir ini? Perenungan apa yang sedang kita endapkan? Buah pikiran apa yang sedang kita pelihara beberapa waktu terakhir?

Saya terdiam. Saya tidak terbiasa memelihara gagasan. Sering saja pikiran-pikiran orisinil saya pergi begitu saja seiring jeleknya saya mendokumentasikannya. Saya gagap. Lalu mengatakan "Pass, lanjut yang lain dulu.".

Lalu tiba giliran teman saya. Dalam lantangnya, dia berkata bahwa dia sedang mencari ketepatan-ketepatan dalam wilayah apapun. Tetiba bohlam kepala saya menyala cerah. Nah, ini pula yang sedang sering berjalan di kepala saya.

Iya, mencari ketepatan. Ini dia. Saya memang sedang berusaha mati-matian dalam mencari ketepatan. Dalam hal apapun.

Mencari yang tepat antara, saya harus lekas pulang atau musti diskusi asyik dengan kawan. Antara saya pergi ke suatu tempat atau berdiam diri dirumah. Antara mengerjakan yang ini atau mengoprek yang itu. Antara kesana atau kemari.

Nah, perjalanan batin ini yang saya butuhkan adalah latihan berlama-lama. Bersering-sering. Peka terhadap efek konsekuensi apa yang terjadi setelah mengambil keputusan itu. Apa kita mengambil keputusan dengan emosional atau dengan akal sehat? Apa kita terburu-buru penuh nafsu? Atau sudah mampu mengendalikan diri kita sendiri.

Latihan ini yang sedang terus menerus saya jalani. Begitu juga teman-teman saya.

Sebenarnya, ini perenungan kami bersama.


Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Om Hao

Kulitnya putih, matanya sipit. Iya, dia peranakan tiong hoa asli Purbalingga. Selain memang tampangnya yang benar-benar China, diapun katholik taat. Tidak pernah telat sembahyang minggu. Berbuat baik me sesama. Juga ziarah ke beberapa tempat suci.

Yang saya herankan adalah persentuhannya dengan komunitas kami. Beliau sanggup duduk 6 jam bersama kami, dari pukul 9 malam sampai 3 pagi. Mendengarkan kami bershalawat ke atas Nabi favorit kami. Mengikuti alur diskusi kami. Duduk bersantai, ngerokok, nyamil sembari gendu-gendu rasa mengenai kehidupan.

Pun sama ketika saya temui kemarin di hajatan mas Hanif. Dengan santai penuh kelakar dia selalu meresahkan agama yang hanya dijadikan simbol, bukan aplikasi sosialnya. YouTube Cak Nun dan Kiai Kanjeng dibabatnya habis, ditonton secara rajin. Beberapa lagu shalawatnya hapal. Terlebih shalawat dengan aransemen musik gereja.

Kepada Mas Agus, dia bertakdzim penuh. Percaya betul kalau keputusan-keputusan kami adalah ketepatan berfikir. Apalagi kepada Cak Nun, pernah berkunjung ke Mocopat Syafaat dan selalu heran, kok ada tempat senikmat di Mocopat Syafaat. Apalagi beliau bisa bertemu Cak Nun.

Baginya, agama itu aplikasi sosial. Outputnya, masakannya bukan APA dapurnya. Ini juga yang membuat dia kurang disenangi oleh komunitasnya sendiri. Dimana agama dianggap hanya sebagai ritual.

Om Hao sedang mencari Tuhan. Mungkin disela-sela kesibukannya mengurus toko komputer di Purbalingga, dia masih menyempatkan diri mendengarkan musik Kiai Kanjeng atau YouTube Cak Nun.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Rakoreg Fosma di Tasik

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Padang Panjang


Padang Panjang, 4 Tahun silam.
penjelajahan Sumatera via Bus Umum
Purwokerto - Aceh
bersama Adhi Yuwana dan Melyn

Kebun Maiyah

Atau andaikan saja engkau ambil satu amsal:Maiyah itu Kebun, ia kebun apa gerangan? Terdapat pohon-pohon apa saja padanya? Pepohonan, kembang dan bebuahan: apakah buah-buah itu adalah juga sebagaimana bebuahan di kebun-kebun lain? Dari mana asal usul bijih-bijihnya? Apakah tanahnya sama dengan tanah kebun-kebun lain? Ataukah pengolahan tanahnya yang berbeda? Dari mana asalnya ilmu pengolahan itu? Atau cuacanya, suhunya, anginnya, roang kosong di atasnya hingga langit? Siapa yang berkebun? Apakah nenek moyangnya dulu juga berkebun? Siapa yang menyuruh dia berkebun? Apakah ia memetik bebuahan di kebunnya? Atau siapa saja yang memetiknya? Bisakah engkau mengembangkankan pembayangan pertanyaan-pertanyaan ini membengkak sampai ke keagungan dan mendetail hingga ke "glepung", bahkan hingga ke sunyi senyap?

#EAN

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Dajal Net - Iwan Fals

Aku kecanduan internet
Twiter facebook dan mbah google
Belum lagi youtube dan you ssst
Lalu situs-situs lainnya
Bangun tidur tidur lagi
Mencet sana mencet sini
Sudah nggak peduli lagi dengan yang lain

Kerjaan berantakan
Kewajiban melayang
Sakit pinggang leher dan mata
Duh kasihan deh aku
Ketawa-ketawa sendiri
Sedih-sedih, sedih sendiri
Marah-marah, marah sendiri, ya sendiri

Gila kok bisa seperti ini ya
Drakula pulsa cekikian
Sambil menyedot darah pelanggan
Dan darahku yang pas-pasan

Memang teman semakin banyak
Teman yang sama-sama gendeng
Internet dekatkan yang jauh
Internet menjauhkan yang dekat
Otakku kutitipkan disitu
Jadi malas mengingat, malas belajar
Toh semuanya ada disitu
Ayo mau tanya apa ayo tinggal klik
Mbah google bisa menjawabnya

Sama seperti yang lain 
Hobiku jadi suka nunduk
Di halte di pasar
Di rumah ibadah
Di rumah sakit di sekolah
Bahkan di sidang parlemen
Pun orang-orang pada menunduk
Oh ilmu padi rupanya
Semakin berisi semakin merunduk

Informasi dalam hitungan detik
Berita tinggal pilih aje
Semua orang jadi pandai nyontek
Ya nyontek

Teknologi komunikasi koq jadi tak bisa komunikasi
Lha sudah pada tau semua kan orang jadi malas berbicara
Ketawa-ketawa nggak jelas
Sedih-sedih, sedih nggak jelas
Marah-marah, marah nggak jelas
Nggak jelas

Semua kesedot ke layar itu
Layar peradaban
Yang sudah dijanjikan
Seperti dajal dengan matanya yang satu itu
Semuanya pergi menuju kesitu

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Bumi di Stasiun

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

cobalah bernyanyi

Lidah melet melet. Tangan didepan dada bersambungan. Buang nafas. Setiap pagi. Menghadap matahari. Jam 6 pagi. Minimal seperempat jam. Kontinu selama 6 bulan.

Itu bikin suara kita stereo.

Lalu, cobalah bernyanyi. Dari hati. Mengantar cahaya melalui suara. Memasuki telinga menembus fikiran dan rasa.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Rumah Sutet

Rumah saya dekat sutet. Sekitar 20 meter jaraknya. Kata orang, rumah dekat sutet itu bahaya. Plus dijual atau untuk agunan tidak begitu bagus. Banyak orang memperhatikan hal ini.

Tapi, saya selalu bertanya-tanya, kenapa bisa dapat rumah ini. Padahal saya hampir dapat rumah diujung sana. Tapi jodoh lari kesini.

Hm. Bisa jadi dapat dijalan utama. Hadap keutara? Buka pintu lihat gunung Slamet. Atau karena depan fasilitas umum. Ah, apapun, itu pasti hikmah.

Dan sudah setahun disini, saya sehat sehat saja meski rumah dekat sutet. Dan masih ada dua rumah samping saya yang jauh lebih dekat.

Dan baik baik saja.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Klangenan

Teh pahit cangkir seng, sarapan pagi belakang SD, krupuk mireng kuning, puli ketan siram gula jawa, peyek ikan asin, gulai rusuk kambing, soto Kang roni,

Saya tetiba ingat ini. Ingat masa kecil saya, di Belik. Bersama Mbah Nur.

Fatehah untuk beliau. Saya kangen.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Kata Bang Iwan

Internet mendekatkan yang jauh
Internet menjauhkan yang dekat

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Melongok Keluar

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Juguran

Juguran itu artinya tongkrongan, kongkow, ngariung kalau basa sundanya. Syaratnya ada tempat yang luas, silir-silir. Jembar pemandangannya. Juga ada syarat satu lagi, timbulnya kebahagiaan bersama. Tidak salah satu person saja, tapi semuanya.

Kebahagiaan bisa diciptakan dengan makan bersama, bikin diskusi, sharing masalah hidup sampai bikin permainan bersama. Nah yang mana yang dipilih, itu terserah saja.

Yuh, njugur. Enake wengi-wengi sih.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

----

Tauhid berati engkau atau aku melebur diri kepadaNya. Metodenya adalah peniadaan diri, dan itu ditempuh dengan terus-menerus mengikis kepentingan diri sendiri.
Sebab bagaimana cintaku kepada-Nya akan bisa bermutu, jika masih tergoda oleh kejayaanku sendiri, padahal diriku ini aslinya tak ada.
Bagaimana Ia akan percaya kepada cintaku jika perhatian dan energi kepentingan padaku tak sepenuhnya bermuatan rindu kepadaNya.
Cak Nun

Yang Internal

Ilmu bisa seluas atau sedalam apapun, tapi mekanisme internal di dalam diri kita ketika hendak melakukan segala sesuatu adalah kewaspadaan, kedewasaan, kematangan, dan kebijaksanaan. Begitu kira2 blm lama ini Simbah pernah berkata.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Goda-goda

Memang mengasikkan, pada saat tahap mencari ilmu dianjurkan untuk mencari sebanyak2nya, setinggi2nya, etos mencari dan mengembangkan ilmu sangat dijunjung oleh Islam, tp pada saat orang sudah pada posisi tertentu dari yg disebut berilmu mereka jg harus menyadari bahwa menjadi orang berilmu banyak godaan dan ujiannya.

- di sebuah grup diskusi

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Mekanik

Mungkin, kedepannya Bumi bisa jadi usaha bengkel. Atau insinyur mesin. Bisa juga inventor mekanik. Malah pengusaha motor murah.

Apapun itu, saya membebaskannya. Asal dia sudah jadi dirinya sendiri, nemu sangkan paraning dumadi.

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

sang pemimpi

"Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!"

Dengan Seribu Kali Mati

dengan seribu kali mati
akan terus kukejar namamu yang sejati

kau bilang kau tuhan kau allah
tapi aku tak sekhilaf anak-anak sekolah

bajumu yang sembilan puluh sembilan
sungguh berhasil menyembunyikan
engkau diri yang samar-samar

tak usah lagi menyamar
seusai batas filsafat dan ilmu
tertangkap sudah senda guraumu.

1988
Emha Ainun Nadjib

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Dadi Ndadi

Dadi bocah bae durung genep wes dadi bojo. Dadi bojo bae durung genep wes dadi bapak. Dadi bapak bae durung genep wes meh duwe anak loro.

Kapan dadi? Kapan Ndadi?

Ora rampung-rampung prosese.

Dadi menungsa angele...

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Jaman Nabi

Jaman Nabi, ada banyak sekali ilmu pengetahuan yang ada. Karena memang Nabi itu kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya. Maka berbondong-bondonglah orang bertanya ini itu kepada Nabi, tapi tetap saja tidak secerdas Ali dalam bertanya.

Simbah saya pernah cerita bahwa jaman Nabi sangat disayangkan sekali, karena tidak banyak yang tergali darinya. Meskipun, sepertinya sudah sangat banyak.

Lalu saya ngepas-ngepasin, apa iya saya musti banyak bertanya ke Simbah? Mumpung beliau masih sugeng. Tapi apa ya pas? Dan apa iya, saya sudah siap dengan ilmu yang akan saya terima? Karena, setiap ilmu akan dituntut amal dan tanggung jawabnya.

Nah, saya kemudian mlipir diujung diskusi. Isin. Urung mampu.

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Cerdas Bertanya

Orang pintar itu pandai menjawab. Tapi orang cerdas itu pandai bertanya.

Ah, kamu tahu apa artinya.

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Pesan Siang Ini

Ilmu bisa seluas atau sedalam apapun, tapi mekanisme internal di dalam diri kita ketika hendak melakukan segala sesuatu adalah kewaspadaan, kedewasaan, kematangan, dan kebijaksanaan.

- simbah

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Gambar Poster

Sejak Desember, komunitas kami memutuskan untuk rutin membuat poster dalam setiap publikasi kegiatannya. Dan yang utama, poster ini berisi foto human interest karya sendiri yang sesuai dengan tema diskusi. Jadilah saya penanggung jawabnya.

Tugas saya, sebulan sekali musti hunting foto. Kadang blusukan sawah, keliling pasar, atau kadang juga nemu inspirasi di rumah.

Yang sulit adalah menerjemahkan bahasa lisan kedalam bahasa visual. Musti pakai ilmu semiotika. Anutan saya adalah mukadimah diskusi yang disusun oleh redaksi. Sesudah itu, eksekusi.

Saya dituntut kejelian membaca kalimat. Saya diminta kepatutan menerjemahkan bahasa mukadimah. Saya diharuskan menggunakan kaidah kemanusiaan dalam objek gambar. Dan saya dipastikan bisa memvisualisasikan judul diskusi bulanan komunitas kami.

Kreatif!
Dan saya terbakar...

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Becak Dari Tuban

Bolak balik becak-becak ini menarik penumpang dari parkir wisata bis menuju ke area Makam Sunan Bonang, Tuban. Beberapa diantaranya terdapat hiburan musik dengan speaker menempel pada badan becak.

Unik.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Ngaima Dodera

Sebuah pohon yang menaungi sawah-sawah penuh padi.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

Tamu Rejeki

Lelaki paruh baya, berbadan tinggi besar itu adalah tamu saya dari New Caledonie. Sebuah negara di daerah pasifik, utara New Zealand selatannya Papua New Guenia. Namanya Sabar Soukiman.

Dan ternyata memang orang Jawa. Bapak Ibunya Indonesia, tapi dia lahir di New Caledonia. Disitu sendiri ternyata banyak peranakan Indonesia yang tinggal cukup lama. Bahasa sehari-hari mereka perancis.

Orang ini beberapa kali membeli barang dagangan saya. Dan tujuan datang kali ini ingin rerembugan, evaluasi kerjasama kita selama ini.

Yang menarik adalah, Jawanya tidak hilang. Dia tidak bisa bahasa inggris, tapi bisa bahasa jawa, meski sedikit. Senyumnya ramah, suka menyapa, suka ngobrol dan tidak seenaknya. Buat saya ini point tersendiri.

Tapi yang saya ingat terus adalah, ordernya beberapa kali menyelamatkan perusahaan dan komunitas kami. Order pertama bisa untuk menopang pembiayaan Silatnas Maiyah di Baturraden. Dan order terakhir, bisa untuk bayar visa dan sangu Rizky pameran ke Belanda. Semua berlangsung ajaib.

Tuhan kasih rejeki kita dengan penuh misteri. Ini tadi adalah yang kami alami. Sepertinya, kalau melihat sepeti ini, kok ya buat hidup sejahtera tidak mustahil. Apa-apa serba mungkin. Hanya cara Tuhan saja yang belum bisa kita logika. Kita sudah buru-buru bilang nihil.

Tabik,

Hilmy Nugraha

sent from smartphone

cajon bumi

Mungkin Bumi memang menyukai musik. Dia tertarik saat saya main ketukan pada toples Tupperware. Juga memperhatikan saat saya bernyanyi "Turn Your Light Down"-nya Bob Marley. Lagi ketika bundanya menyanyi "Kelinci Putih".

Tangan bergerak gerak, kepala menggeleng-geleng, dan kaki menendang-nendang.

Saya ingat, waktu masih di perut ibunya, dia saya beri asupan lelagu bermacam-macam. Reagge, Jazz, Bossa, Ethnic, Blues, sampai ke Langgam. Bisa jadi itu stimulusnya.

Nanti mau saya bikinkan Cajon, dua biji. Untuk saya dan Bumi. Melatih ketukan, itu penting buat landasan musiknya.

Tabik,

Hilmy Nugraha

membersamai

Saya mendongak keatas. Langit-langit ini langsung dengan atap rumah, yaitu seng. Panas, terasa panas. Ini do Jombang, baru mandi sebentar saja sudah gerah kembali. Saya lihat sekeliling, bangunan dari kayu semi permanen. Lantai floor semen separuh jadi. Perabot rumah tangga cukup sederhana, dan etalase dagangan yang jauh dari layak.

Ini warung, digunakan juga sebagai rumah tinggal. Ada dipan kasur diujung sana, kucel kumel tanpa perawatan. Ini jauh disebut layak huni. Apalagi disitu jualan makanan dan saya sedang mampir makan nasi rawon dan minum air putih hangar siang hari.

Tapi yang saya lihat bukan ketidaklayakan tempatnya, namun manusia didalamnya. Diatas dipan itu ada bapak, ibu dan 2 orang anak sedang bercanda riang. Dan ditengah panas. Si bapak meledek anak tersebut hingga tertawa-tawa, menular tawa itu ke adiknya. Si ibu memandangi mereka sembari berbaring.

Saya lihat muka mereka begitu lepas dan bahagia. Saya yakin, mereka penuh tekanan dan masalah. Bisa jadi si bapak penuh hutang dimana-mana. Ibunya lelah bukan main bekerja dari pagi hingga larut dengan uang seadanya. Tapi sepertinya mereka memang ahli mengatasi masalah demikian.

Saya sedemikian larut dengan pemandangan ini. Kekayaan yang mahal, bercegkerama dengan keluarga disiang hari. Bersentuhan fisik penuh canda tawa. Melihat wajah anak riang gembira, meski hidup seadanya.

Saya malah lebih sering menyaksikan, orang yang membuang-buang uangnya demi kebahagiaan keluarga namun tak kunjung bertemu dengan rasa bahagia. Habis uang berjuta-juta, tapi wajah tetap masam saja. Pergi hari libur buang uang, tapi hati mereka tak pernah selesai.

Kalau memang demikian, sejatinya apa itu bahagia?

Tabik,

Hilmy Nugraha

dont

Jangan terlena pada saat pergantian siang ke malam, atau sebaliknya malam ke siang. Disitulah terdapat pundi-pundi keberkahan dan pintu-pintu ilmu.

Itu kata simbah.

Yang selanjutnya dapat kulakukan adalah terjaga pada saat itu, dan melihat alam. Disitu kita bisa melihat Tuhan.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Jalan Kemarin

Perjalanan ini menempuh ribuan kilometer. Dan kami tempuh dengan mobil pribadi. Setir sendiri.

Tujuannya adalah mencari ilmu, mencari cahaya. Berjalan ke Timur, mencari cahaya terbit. Disana ladang cahaya ditaburkan.

Kami berjalan menyusuri pantai utara, banyak tempat yang musti kami singgahi. Ujung persinggahan kami adalah seberang Madura, melewati suramadu. Dan tujuan kami memang di Jombang, Padhang mBulan.

Saya jadi makin kenal teman-teman saya. Memang benar, kalau mau kenal seseorang, berjalanlah bersamanya beberapa hari. Kita akan tahu, 65% dirinya.

Ada Mas Agus yang selalu memaknai perjalanan ini. Dia ini pancer kami. Pengantar risalah. Menurutnya, perjalanan terjauhnya dengan menggunakan jalan darat mobil pribadi.

Mas Herman, bendahara kami, sempat sakit setelah masuk Madura, dia berkeyakinan, dirinya dicuci oleh Mbah Kholil. Sampai pulang sudah segar, makannya banyak kembali. Nyenengi.

Mas Amin, pasukan saba kuburannya Purbalingga, menikmati sangat perjalanan ini. Kunjung makam, wirid, dia spesialisasinya. Wirid bersama Majelis Pahingan dan ikut forum Padhang mBulan adalah umroh baginya.

Pak Sugeng sedang centil-centilnya. Duda beranak satu ini berganti DP BBM sejam sekali, menunjukkan lokasi dimana dia berada. Meski demikian, tirakat dan perenungannya yang dalam, kita tak bisa membantahnya. Dia bombong.

Anggi seperti biasa. Enteng hidupnya. Meski ketemu penggiat Malang yang sudah dinantikannya, tetap saja tidak menyapa satu katapun. Cintanya seperti Umbu.

Kusworo selalu sibuk dengan HPnya. Kasmaran, gandrung, sedang mewakili perasaan dirinya. Habis dia sepanjang jalan diledekin kita.

Rizky seperti biasa, perencana perjalanan terbaik. Paham patrap dan kepatutan. Tulisannya muat di Sabana, dia membeli majalah ini lebih dari tiga.

Azis supir terbaik kami. Mulus, kencang dan irit. Sepertinya perjalanan ini adalah perjalanan ter-fit-nya. Saya salut.

Hirdan beberapa kali mengeluh, tidak sempat bersalaman dengan simbah dan tidak mengikuti forum hingga selesai.

Dan saya sendiri. Mbleketir. Ora ngapa-ngapa.

Bagi saya, perjalanan itu adalah sarana refleksi. Disitulah diri kita terlihat sesungguhnya. Dominant, egois, menang sendiri atau ngalahan, nerimo, dan sebagainya.

Alhamdulillah, lancar semua sehat semua. Dan kami pulang dengan senang. Melebihi perasaan kami lulus wisuda.

Seolah perjalan ini, perjalanan hakekat. Mencari Dia, melalui cahaya...

Tabik,

Hilmy Nugraha

Keempat

Pengajian Padhang mBulan sedang berlangsung keempat kalinya malam ini, dan semakin kukuh dan jernih nuansanya bahwa ia tidak memiliki pamrih apapun kecuali penyembahan yang lugu sekumpulan makhluk hidup kepada Penciptanya.
Kalau Tuhan memperkenankan sesuatu atas ketulusan hati orang-orang yang berkumpul ini, bisa saja forum pengajian ini kelak memiliki makna sejarah. Tapi ia bukanlah gerakan kebudayaan, apalagi gerakan politik. Ia mungkin suatu gerak, tapi bukan gerakan — sebab 'gerakan' berarti suatu pretensi pengaitan diri dengan perubahan-perubahan dalam sejarah, yang dengan gampang bisa diassosiasikan dengan pola-pola baku sistem sosial yang berlaku. 'Gerakan' cenderung identik dengan suatu enerji sejarah yang memerlukan organisasi, ideologi dan target-target.
Bukan. Pengajian Padhang mBulan hanyalah semangat dan kekhusyukan yang innosen (polos, lugu) dari hati dan akal sejumlah manusia yang berkumpul untuk menyapa Tuhan agar disapa Tuhan.
Ia juga bukan semacam pengajian atau pesantren sebagaimana yang selama ini ada dan dipahami dalam masyarakat kita. Sebab di forum ini tidak ada Kiainya. Fuad Effendy hanya dipanggil Cak Fuad dan Ehma Ainun Nadjib hanya dipanggil Cak Nun. Hal sepele ini sesungguhnya sangat penting karena dengan panggilan itu tercermin bahwa dalam forum ini tidak ada hirarki-hirarki sebagaimana yang dikenal dalam tradisi pesantren atau tarikat.
Ini juga bukan perguruan, karena memang tidak ada murid dalam forum ini.
Satu-satunya term, nama, istilah atau kategori yang bisa dipakai untuk mendekati dan memahami forum pengajian barangkali adalah ihram: semua orang disini menanggalkan seluruh pakaaian sosialnya, jabatannya, gelarnya, posisi kulturalnya, gengsi pribadinya, serta seluruh kompleks-kompleks keduniawiannya — untuk bersama-sama mengenakan kain putih untuk bertemu batin dan akal kepada Allah swt.
'Ihram' itulah yang barangkali sedang kita tradisikan bersama-sama. 'Ihram' untuk menggali hawa murni, melatih telinga kita agar bersama-sama diperkenankan Tuhan sanggup mendengarkan kebenaran, melatih mata kita agar mampu menatap Al-Haq, melatih seluruh jiwa raga kita untuk tidak ditinggalkan oleh Allah swt, yang amat kita cintai dan kita butuhkan.
Catatan:
Tulisan ini merupakan pengantar Maiyah Padhang mBulan edisi keempat yang ditulis oleh Cak Nun, sekitar 21 tahun yang lalu.
Tabik,
Hilmy Nugraha







Ingat

Bapak berperawakan kekar setengah baya itu sedang menggendong anak lelakinya. Mungkin, umur anaknya sekitar 1 tahun. Tubuhnya montok, sehat Dan sangat aktif gerak. Celotehnya mulai banyak.

Saya memperhatikannya dari seberang jalan, di bangku warung. Sembari ngopi. Lama saya melihat gerak geriknya. Bapak dengan tampang sangar ternyata family man juga.

Entah apa pekerjaannya, yang jelas sehari-hari bergelut dengan otot dan tenaga. Keras kerjanya, matahari temannya. Namun siapa menduga, orang dengan pekerjaan sekasar apapun, dia adalah orang penyayang bagi keluarganya.

Saya terus memperhatikannya. Saya teringat Bumi, anak saya. Saat terpisah 500 km dari saya, ya saya sedang di Jombang. Sedang dia di Cilacap. Saya rindu menggendong, menikmati celotehnya dan tertawa bersamanya.

Saya akui, sayapun sedang belajar menjadi manusia...

Tabik,

Hilmy Nugraha

Dzikral Ahibba

Ngalap Berkah

Ramai berduyun-duyun. Wajah lugu, khas pedesaan. Ini sedang ngalap berkah. Berkah kiai. Yang sudah menempuh jalan dulu menuju Nya.

Dan saya menyaksikan.

Tabik,

Hilmy Nugraha

Menturo Pagi Ini

Pagi ini saya bangun. Dan ternyata sudah di Menturo, Jombang. Di kampung kelahiran guru saya.

Suasananya kampung sekali. Sangat ndesa. Pohon di kanan kiri jalan, rumah berjarak jauh-jauhan. Warung sajian seadanya, jajanan pasar dan kebutuhan rumah.

Anak desa pergi ke sekolah berjalan kaki, beberapa naik sepeda. Bapak pergi ke ladang, sekarang bukan sedang musim tanam padi. Ibu-ibu mencuci, melakukan pekerjaan rumah.

Pohon jati ada di beberapa halaman rumah. Saya ingat, analogi jati dan kecipir yang merambat. Saya kecipir dan pohon jati itu guru saya. Jika tujuannya untuk sama-sama naik keatas mencari cahaya agar tanaman bisa hidup, maka saya nunut kuat dan tingginya pohon jati.

Saya ini bukan siapa-siapa. Mung ketulung urip di sekitar jati wae. Jadi, bisa naik tinggi mencari cahaya. Guru saya sudah jelas akarnya, kebonnya, bibitnya. Kalau kecipir, salah merambat saja sudah gagal hidupnya.

Dan pagi ini, saya sudah di Menturo, Jombang. Di kebun jati itu. Saya nunut mencari cahaya.

Tabik,

Hilmy Nugraha