Pengajian Padhang mBulan sedang berlangsung keempat kalinya malam ini, dan semakin kukuh dan jernih nuansanya bahwa ia tidak memiliki pamrih apapun kecuali penyembahan yang lugu sekumpulan makhluk hidup kepada Penciptanya.
Kalau Tuhan memperkenankan sesuatu atas ketulusan hati orang-orang yang berkumpul ini, bisa saja forum pengajian ini kelak memiliki makna sejarah. Tapi ia bukanlah gerakan kebudayaan, apalagi gerakan politik. Ia mungkin suatu gerak, tapi bukan gerakan — sebab 'gerakan' berarti suatu pretensi pengaitan diri dengan perubahan-perubahan dalam sejarah, yang dengan gampang bisa diassosiasikan dengan pola-pola baku sistem sosial yang berlaku. 'Gerakan' cenderung identik dengan suatu enerji sejarah yang memerlukan organisasi, ideologi dan target-target.
Bukan. Pengajian Padhang mBulan hanyalah semangat dan kekhusyukan yang innosen (polos, lugu) dari hati dan akal sejumlah manusia yang berkumpul untuk menyapa Tuhan agar disapa Tuhan.
Ia juga bukan semacam pengajian atau pesantren sebagaimana yang selama ini ada dan dipahami dalam masyarakat kita. Sebab di forum ini tidak ada Kiainya. Fuad Effendy hanya dipanggil Cak Fuad dan Ehma Ainun Nadjib hanya dipanggil Cak Nun. Hal sepele ini sesungguhnya sangat penting karena dengan panggilan itu tercermin bahwa dalam forum ini tidak ada hirarki-hirarki sebagaimana yang dikenal dalam tradisi pesantren atau tarikat.
Ini juga bukan perguruan, karena memang tidak ada murid dalam forum ini.
Satu-satunya term, nama, istilah atau kategori yang bisa dipakai untuk mendekati dan memahami forum pengajian barangkali adalah ihram: semua orang disini menanggalkan seluruh pakaaian sosialnya, jabatannya, gelarnya, posisi kulturalnya, gengsi pribadinya, serta seluruh kompleks-kompleks keduniawiannya — untuk bersama-sama mengenakan kain putih untuk bertemu batin dan akal kepada Allah swt.
'Ihram' itulah yang barangkali sedang kita tradisikan bersama-sama. 'Ihram' untuk menggali hawa murni, melatih telinga kita agar bersama-sama diperkenankan Tuhan sanggup mendengarkan kebenaran, melatih mata kita agar mampu menatap Al-Haq, melatih seluruh jiwa raga kita untuk tidak ditinggalkan oleh Allah swt, yang amat kita cintai dan kita butuhkan.
Catatan:
Tulisan ini merupakan pengantar Maiyah Padhang mBulan edisi keempat yang ditulis oleh Cak Nun, sekitar 21 tahun yang lalu.
Tabik,
Hilmy Nugraha
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 kata-kata:
Posting Komentar