tafsir film
Sampai sekarang aku belum nonton film 'Sang Penari'. Pertama tentu saja karena belum ada film-nya di bioskop di Purwokerto, selain itu aku memang belum ada keinginan untuk menontonnya.
Jauh-jauh hari sebelum penayangan perdana 'Sang Penari' di bioskop, aku berkunjung santai ke rumah Ahmad Tohari. Kami mengobrol tentang sastra, Banyumas, film Ronggeng Dukuh Paruk, pemerintah dan banyak hal.
Pak Tohari, beliau biasa disapa, mengatakan hal yang sangat penting bagiku. Bahwa kita harus mempunya dua rumah apresiasi dalam pikiran kita. Yaitu apresiasi teks dan apresiasi visual.
Film yang sudah dibuat, itu adalah karya sutradara, bukan karya beliau. Itu adalah hasil tafsiran sutradara dari buku teks Ronggeng Dukuh Paruk yang sudah dia baca. Jadi semata-mata tidak bisa disamakan dengan teks aslinya.
Kata dalam sastra, tidak semata-mata bisa diterjemahkan dalam visual semua. Novel setebal 408 halaman ini, tidak mungkin hanya divisualisasikan secra detail dalam 110 menit di layar lebar. Tentu akan banyak penyusutan. Jadi, jangan terlalu banyak berharap film ini sama dengan teksnya.
Meski demikian, kita harus tetap mengapresiasi, kata beliau. Bagaimanapun juga ini karya seni. Kemudian, sewaktu ku tanya, apakah beliau mau menghadiri pemutaran perdananya, beliau menjawab pelan, bahwa beliau belum tega melihatnya.
13 november 2011
12:57
tadi pagi ngobrol lagi dengan beliau, tapi hanya sebentar,
pak Ahmad Tohari mau kondangan.
ditulis oleh
Hilmy Nugraha
13 November 2011
Labels:
2011,
ahmad tohari,
apresiasi,
film,
novel,
ronggeng dukuh paruk,
sang penari,
tafsir,
teks,
visual
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 kata-kata:
penasaran sama filmnya...
perlu di-bold di bagian 'belum tega'
:(
@fil, udah nonton?
@emi, haha, iya nih, tapi pak tohari tetep jadi nonton filmnya.
Posting Komentar