#16 : kutipan acak, pemikiran absurd, kicauan entah.
Aku tidak ingin menjadi seorang anak muda yg baru memasuki emperan kuil saja lantas memaki habis sang begawan karena ketidakmampuan hati dan nalarku mencerna sesuatu.
Orang tidak boleh mengklaim kebenaran dan nilai sesuatu.
letak kemuliaan itu adalah karena kita berani dan mau menjalani sesuatu yang aslinya tidak kita sukai itu
bahagia itu menerima hidup saat ini, apa adanya.
atas dasar apa engkau menuntut Allah harus adil ?
Kebudayaan dan kreatifitas seni sudah hancur oleh peradaban televisi yang material oriented. Secara kesenian, seorang pekerja seni / seniman tidak berani kreatif sebab masyarakat tidak doyan kreatifitas
Bahwa hanya sekolahan bodoh yang ada wisuda, karena ilmu itu tidak ada puncaknya. Universitas tidak ada hubungannya dengan ilmu jika ia tidak mau mengapresiasi segala sesuatu yang dia tidak fahami.
Padahal kunci ilmu adalah “ muta’alimun”, yakni orang yang selalu mempelajari hal-hal yang ghoib (yang kita tidak punya pengetahuan ttg nya). Maka orang Maiyah harus berfikir ke segala arah. Untuk menjadi baik, manusia harus berprinsip “Ihdinashshirothol Mustaqiim”, tidak perduli kelakon apa tidak, yang jelas harus jalan. Kita tidak dituntut untuk berhasil sebab yang wajib itu ‘jalan’ nya harus lurus. Engkau harus menjalani proses kemudian nikmati perjuangan dan pergulatannya.
Revolusilah terhadap diri anda sendiri…, lakukan sesuatu dan jangan perduli berhasil atau tidak. Orang Jawa memiliki istilah “di untal”….., maka anda harus kritis terhadap apapun (termasuk terhadap demokrasi). Bahwa yang paling penting adalah meletakkan segala sesuatu pada konteks dan pemahaman yang komprehensif atas berbagai hal.
Cintailah dunia ini tapi jangan sampai ‘kawin’ dengannya.
demokrasi itu pintu gerbangnya liberalism, kapitalisme dan isme-isme sejenis itu. Tandanya adalah bahwa di negara-negara yang disitu berhembus euphoria demokrasi, tidak lama berselang pasti selalu diikuti oleh isu privatisasi. Mustahil ada revolusi selama ada demokrasi. Singkatnya begitu.
rahasia kesembuhan berbeda dengan pengetahuan mengenai pengobatan.
kita sudah menemukan pipa dan airnya, hanya kurang krannya.
sebuah dialektika yang nanti dibuktikan oleh tenggang waktu.
kita juga harus mau mendengarkan hal-hal yang tidak cocok dengan pemikiran kita.
lebih masuk surga daripada orang lain.
kerendahan hati.
merendah untuk meninggi.
Tuhan membatalkan cintanya kepada kita.
sepotong tempe bisa lebih nikmat daripada tiga potong daging, jika kita mampu memaknai rasa syukur.
tetap berbesar hati dengan semua ini.
rumus bertemu dengan Tuhan, bekerjalah.
pekerja keras. menikmati kerja.
kewajiban saya adalah menikmati pekerjaan.
total 100% untuk bekerja.
menikmati pekerjaan sejak kecil.
bekerja karena indah bekerja.
Di dalam zaman yang telah jauh maju ke depan ini, barangkali kita bersemayam di kehidupan yang ringan dan riang melakukan dosa-dosa.
Kalau memang bagimu kehidupan adalah perjuangan untuk berkuasa dan mengalahkan saudara-saudaramu sendiri; kalau memang bagimu kehidupan adalah mengincar dan menikam punggung saudaramu sendiri dari belakang; kalau memang bagimu kehidupan adalah mengganti monopoli di tangan orang lain dengan monopoli di tanganmu, atau menggusur hegemoni di genggaman orang lain menjadi hegemoni di genggamanmu, atau mengusir macan untuk engkau macani sendiri — maka pertanyaanku, apakah itu adalah tawaran dari nurani dan kesadaranmu agar kita percepat saja proses untuk saling musnah memusnahkan
Tapi semua yang kita capai harus kita hancurkan sendiri dan kita rusak lagi agar kita bisa mencapai yang lebih baik lagi
Jadi yang penting itu terus mencari, bukan berhasil atau tidak. Yang diinginkan Allah itu engkau bergerak menjalani pencarian itu atau tidak?
Hidup harus terus belajar dan “nglakoni”
Tuhan tak sudi dipergoki. Takdir-Nya tak bisa dicegat. Kehendak-Nya tak mungkin dibatasi. Hak-Nya atas misteri garis terang dan gelap kehidupan, serta atas ketentuan detik maut dihadirkan, tak membuka diri sedikit pun untuk dirumuskan oleh segala ilmu dan pengalaman. Kehidupan sangat mengaitkan sakit dengan kematian, tetapi maut tidak bersedia dikaitkan dengan sakit.
Tuhan berhak memaparkan suatu gejala yang pada repetisi kesekian dihipotesiskan oleh manusia sebagai jenis "perilaku" Tuhan atas nasib manusia. Tapi Tuhan juga berhak kapan saja melanggar rumusan apapun yang pernah Ia berikan. Bahkan Tuhan seratus persen tidak berkewajiban untuk berbuat adil kepada siapa pun, karena Ia tidak terikat atau bergantung pada pola hubungan apapun dengan siapa pun, yang secara logis membuat-Nya wajib bertindak adil.
Namun Ia selalu sangat adil kepada siapa pun, dan tindakan adil-Nya itu bukan karena Ia wajib adil, melainkan karena Ia sangat sayang kepada makhluk-Nya.
Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu
sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya.
Negeriku kini membiru
Atau kebenaran mirip menggenggam air dalam tangan. Makin kau genggam makin merucut dari balik tangan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 kata-kata:
Posting Komentar