Bagi mereka yang memimpin di kota, pembangunan adalah segalanya. Gagasan tentang kemajuan seperti mantera ajaib yang dikoarkan di panggung-panggung pidato, sebuah impian bersama yang seharusnya membawa kesejahteraan. Namun, bagi desa-desa yang jauh dari pusat kekuasaan, pembangunan ini bukanlah sebuah berkah. Malah, terasa seperti kutukan yang perlahan menggerus kehidupan mereka.
Dulu, desa adalah oase—tempat di mana ruang hidup bukan sekadar angka di peta investasi. Setiap jengkal tanah adalah kenangan; setiap sungai adalah aliran hidup; dan setiap pohon adalah saksi yang bertahan melampaui generasi. Tapi kini, desa-desa itu terjepit di tengah proyek ambisius yang dipaksakan atas nama kemajuan.
Lihatlah ironi ini: atas nama pembangunan, ruang hidup rakyat desa justru digusur, diambil alih paksa untuk membuka jalan bagi gedung-gedung megah dan tambang-tambang yang rakus. Rakyat yang sudah berpuluh tahun hidup dari tanah mereka, kini dipaksa menyerahkan semuanya kepada tangan-tangan yang mengaku membawa “kesejahteraan.” Tapi, di mana kesejahteraan itu untuk mereka? Kenapa mereka malah diusir dari tanah mereka sendiri? Tanah yang diwariskan turun-temurun, tanah yang dijaga dengan doa dan keringat, sekarang tak lebih dari barang dagangan yang dijual kepada penawar tertinggi.
Dan apakah pembangunan ini berhenti pada penggusuran saja? Tidak. Lihatlah, dampaknya menjalar, merambat seperti api yang membakar seluruh ladang. Konflik agraria menjadi momok yang tak terhindarkan. Desa-desa kini menjadi ladang sengketa, arena tarik-menarik antara rakyat kecil yang hanya ingin mempertahankan hak mereka dan kekuatan besar yang menguasai hukum dan kekuasaan. Konflik ini bukan hanya persoalan tanah. Ini persoalan martabat, persoalan kehidupan yang sedang direnggut sedikit demi sedikit.
Kerusakan alam, begitu mudahnya dianggap "biaya pembangunan". Hutan-hutan yang dulu hijau kini berlubang, habis dikeruk untuk mengejar keuntungan. Sungai yang dulu jernih kini berubah keruh, mengalirkan limbah dan bahan kimia yang perlahan-lahan meracuni tanah dan kehidupan. Burung-burung yang dulu hinggap di dahan kini hilang entah ke mana, digantikan suara mesin-mesin berat yang tak kenal henti.
Bagi desa-desa, kerusakan ini bukan sekadar perubahan lanskap. Ini adalah kehancuran identitas, hilangnya budaya yang diwariskan. Bagaimana mungkin masyarakat desa menjaga adat istiadatnya jika mereka harus terusir dari tanah leluhur? Bagaimana mereka bisa melestarikan nilai-nilai lokal jika setiap pohon yang menjadi tempat ritual mereka kini ditebang atas nama “kemajuan”?
Dan pada akhirnya, kita harus bertanya: untuk siapa sebenarnya pembangunan ini? Untuk siapa gedung-gedung menjulang itu berdiri? Untuk siapa tambang-tambang dibuka lebar-lebar, merobek isi bumi, meracuni tanah? Jika jawabannya bukan untuk mereka yang menjaga desa, lalu apa sebenarnya arti pembangunan ini?
Desa semakin terjepit, sementara kepentingan mereka yang berada di atas semakin membesar. Kalau begini terus, di mana tempat bagi desa pada masa depan? Masa depan yang mereka dambakan seolah semakin jauh dari kenyataan, tersingkir oleh bayangan kota yang gemerlap tapi penuh kepalsuan.
Jika pembangunan ini terus dibiarkan, tanpa pertimbangan pada mereka yang menggantungkan hidup pada tanah, maka masa depan desa hanyalah bayangan yang terus memudar. Ini bukan pembangunan. Ini penghapusan.
0 kata-kata:
Posting Komentar