Dulu, tiap kali musim panen datang, wajah sedulur tani dihiasi senyum yang jujur. Dengan hasil bumi yang melimpah, mereka bisa membeli emas, bahkan sedikit bernafas lega sambil menyimpan tabungan untuk masa depan. Tapi, itu dulu. Sekarang? Memimpikan segram emas saja seperti menatap fatamorgana di gurun tandus. Parahnya, bukan emas yang kini dibeli. Malah, sisa-sisa emas yang mereka punya terpaksa digadaikan, habis untuk membeli benih, pupuk, dan pestisida.
Apa yang berubah? Mereka masih menanam, masih berjuang setiap pagi dan senja, masih berpeluh untuk menggarap lahan yang sama. Tapi, hasil panen yang katanya "modern dan inovatif" ini justru seperti perangkap. Janji-janji manis tentang “kemajuan teknologi pertanian” yang seharusnya mengangkat harkat petani, kini justru terasa seperti sarkasme paling kejam. Bukannya hidup lebih baik, mereka malah terjerumus dalam lingkaran yang membelit, semakin ketat dan menghimpit.
Perubahan katanya. Inovasi, katanya. Pertanian masa kini harus lebih efisien, lebih unggul. Tapi, tanya saja pada para petani, apa benar itu semua untuk mereka? Pupuk yang terus naik harganya, benih yang dijual dengan embel-embel “unggul” tapi merusak ketahanan pangan lokal. Petani didorong untuk mengeluarkan biaya lebih banyak—untuk apa? Supaya produk besar laku di pasar. Ya, “kemajuan” memang terjadi, tapi mungkin hanya untuk segelintir pemilik modal yang berjabat tangan di kantor ber-AC, jauh dari aroma tanah yang tiap hari dicium para petani.
Dulu, hasil panen setara emas. Sekarang, hasil panen setara... utang. Ironis? Tentu. Setiap lembar rupiah yang diperoleh dari beras atau sayur yang mereka jual, sudah lebih dulu dikunyah oleh harga bibit, pupuk, dan ongkos produksi yang melonjak. Di mana letak kesejahteraan yang dijanjikan? Di mana buah dari kebijakan yang katanya memihak petani? Semua hanya ada dalam pidato, dalam brosur, dalam rencana-rencana rapat yang jauh dari suara rakyat.
Kenyataannya, sedulur tani tidak sedang dimajukan; mereka sedang dijauhkan dari tanah mereka sendiri. Mimpi untuk bisa menanam dan menuai hasil hanya berakhir dalam lembaran-lembaran tagihan. "Ayo, majukan pertanian!" katanya. Tapi kenyataannya, yang maju hanyalah angka keuntungan perusahaan pupuk dan pestisida, yang maju hanyalah laba bagi importir benih asing.
Lalu, apa arti dari pertanian "maju"? Mungkin, bagi mereka yang di atas, kemajuan itu bukan tentang petani yang makmur, melainkan petani yang patuh. Petani yang terus bekerja, menggantungkan nasib pada harga pasar yang tidak mereka kuasai, dan setiap kali musim panen tiba, mereka terus saja menggadaikan sedikit demi sedikit harga diri dan martabatnya demi bisa bertahan.
Beginikah nasib petani kita? Beginikah arti kemajuan bagi negeri yang bangga akan tanah subur dan kaya raya? Jika demikian, maka kemajuan ini sesungguhnya hanyalah permainan kotor dalam kemasan mewah.
Jebakan Palsu Kemakmuran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 kata-kata:
Posting Komentar