Dialog Imajiner #10
Di bawah langit senja yang merah membara, di sebuah gardu desa yang sederhana, Kamso dan Darman duduk berhadapan. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah yang baru saja diguyur hujan. Di antara suara gemericik air dan kicauan burung pulang, percakapan tentang bulan Ramadhan pun terjalin.
Kamso: "Darman, apa kau perhatikan? Ramadhan kini jadi ajang pamer kekayaan. Bukannya berhemat, malah jadi bulan paling boros."
Darman: "Betul, Kamso. Sepertinya kita lupa, Ramadhan itu untuk mengasah sabar, bukan untuk memuaskan hasrat belanja yang tak terkira."
Kamso: "Lihat saja, pasar malam penuh sesak. Makanan berlimpah, tapi banyak yang terbuang. Uang beredar cepat, tapi apakah hati menjadi tenang?"
Darman: "Ironis memang. Kita seharusnya belajar menahan diri, bukan malah terjebak dalam siklus konsumsi yang tak berarti."
Kamso: "Harusnya kita kembali ke esensi puasa, Darman. Menahan lapar dan dahaga, juga nafsu yang seringkali membara."
Darman: "Semoga kesadaran itu tumbuh dalam diri kita semua, Kamso. Agar Ramadhan kali ini lebih bermakna, tidak hanya sekadar rutinitas belaka."
Mereka berdua kemudian terdiam, merenungkan makna sejati dari bulan suci yang seharusnya menjadi waktu untuk introspeksi dan spiritualitas, bukan kompetisi dan materialitas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 kata-kata:
Posting Komentar