Teknologi kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence) adalah salah satu bidang yang mengalami kemajuan pesat di zaman digital saat ini. AI dapat menyelesaikan berbagai pekerjaan yang sebelumnya hanya mampu dilakukan oleh manusia, seperti mengidentifikasi wajah, memproses bahasa, bermain catur, dan sebagainya. Namun, AI bukanlah tujuan utama dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. AI hanyalah sarana yang dapat mendukung manusia dalam berbagai sektor dan aspek kehidupan.
Walaupun AI memiliki kemampuan yang mengagumkan, AI tetap memiliki batasan dan kelemahan. AI tidak dapat mengganti peranan dan fungsi manusia sebagai makhluk yang memiliki pikiran, perasaan, etika, dan nilai-nilai. AI juga tidak dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang rumit dan dinamis, seperti yang sering dihadapi oleh manusia. AI memerlukan data dan algoritma yang valid dan reliabel untuk dapat berfungsi dengan baik. AI juga rentan terhadap kesalahan, manipulasi, dan penyalahgunaan yang dapat merugikan manusia dan lingkungan.
Karena itu, partisipasi dan pengawasan manusia masih diperlukan dalam pengembangan dan penerapan AI. Manusia harus bertanggung jawab atas segala keputusan dan tindakan yang dihasilkan oleh AI. Manusia harus memastikan bahwa AI digunakan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Manusia harus mengawasi dan mengontrol AI agar tidak melanggar hak dan kewajiban manusia, serta norma dan hukum yang berlaku. Manusia harus berkolaborasi dengan AI untuk menciptakan sinergi yang optimal antara kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia.
AI adalah sarana yang dapat membuka peluang dan tantangan baru bagi manusia. AI dapat menjadi mitra dan sahabat manusia, jika manusia dapat menggunakan AI dengan bijak dan bertanggung jawab. AI juga dapat menjadi musuh dan ancaman manusia, jika manusia menyalahgunakan AI tanpa memperhatikan dampak dan konsekuensinya. AI adalah sarana yang dapat membantu atau menghancurkan manusia, tergantung pada bagaimana manusia memperlakukan dan menghargai AI.
AI hanyalah sarana, partisipasi dan pengawasan manusia masih diperlukan. Ini adalah pesan yang harus kita ingat dan terapkan dalam era AI ini. Kita harus menjaga keseimbangan dan harmoni antara manusia dan AI, agar kita dapat hidup bersama dengan damai dan sejahtera. Kita harus mengembangkan AI yang sesuai dengan visi dan misi kita sebagai manusia, yaitu menciptakan dunia yang lebih baik bagi kita dan generasi mendatang.
Bagi Anda yang pernah tinggal di Singapura, Jepang atau Korea, Anda pasti menyadari betapa rapi dan teraturnya negara-negara tersebut. Mereka tidak merokok sembarangan, antri dengan sabar, menghentikan kendaraan di tempat yang benar, bahkan mereka tidak meludah seenaknya. Mereka adalah negara-negara yang disiplin. Mereka percaya sepenuhnya bahwa setiap perbuatan baik akan mendapat balasan baik. Mereka yakin sepenuhnya bahwa setiap perbuatan buruk akan mendapat balasan buruk. Tidak peduli seberapa kecil. Bukankah ini sabda Tuhan?
Karena negara melindungi mereka. Negara menjamin orang-orang yang berbuat baik, jujur dan bekerja keras mendapat apa yang menjadi hak mereka. Di sana orang-orang yang berbuat baik akan mendapat layanan terbaik dari negara. Orang-orang jujur pasti aman dan akan dicari untuk diberi pekerjaan. Orang-orang yang bekerja keras dijamin oleh negara, mereka akan mendapat hak terbaik atas penghasilan, tunjangan dari negara.
Lalu, bagaimana dengan di sini? Jangan harap ada jaminan. Orang-orang yang berbuat baik sekarang malah dicurigai. Menyapa orang di angkutan umum di kota besar bisa jadi cara kejahatan. Orang-orang terbaik di negeri ini diabaikan. Orang-orang jujur malah hancur. Yang dilindungi adalah mereka yang mampu membayar segalanya. Seberapa keras pun kita bekerja, tidak akan diapresiasi oleh negara. Itu urusan Anda sendiri. Tidak berpengaruh. Ada atau tidak ada negara sama saja. Apa gunanya ada negara? Kalau urusan ini saja tidak bisa ditangani.
Akibatnya, orang-orang menjadi frustrasi untuk berbuat baik. Sering berbohong. Malas bekerja keras. Apatis. Kejahatan merajalela. Cara berpikir sehat kita sudah terbalik. Negara yang seharusnya menjamin semua ini malah bertentangan.
Tapi kalau kita hanya mengandalkan negara ini, pasti hasilnya hanya frustasi, putus asa dan menyerah hidup. Padahal menurut Bung Karno di atas kekuasaan negara ini ada kekuasaan rakyat, dan di atasnya lagi ada kekuasaan Tuhan. Kita sering lupa ada Tuhan. Maka menjadi pasrah dalam kefrustasian.
Percaya saja, bahwa mungkin negara kita tidak menjamin balasan kebaikan yang kita lakukan, tapi Tuhan menghitung dengan teliti, menyimpan semua file perbuatan kita dengan detail dan membalasnya satu persatu di kondisi dan waktu yang paling tepat yang dirasakan oleh umat manusia. Itu kalau kita tidak ateis dan masih percaya ada Tuhan.