Relevansi
Ketika saya diminta membikin kandang ayam oleh majikan tercinta saya, maka saya akan dengan seluruh tenaga, pikiran dan hati dalam mengerjakannya. Saya maksimalkan semua potensi dalam tubuh dan diri saya, sebaik mungkin mengerjakannya. Jika dijalan ada kurang-kurangnya, itu tetep akan dimaklumi oleh majikan saya, karena saya sudah pol-polan dalam bekerja.
Tapi jika tetap ada kekurangan, dan sepertinya itu memang kebutuhan dalam pengerjaan proyek besar saya ini, maka ya tidak apalah jika saya meminta majikan saya membantu. Contohnya, saya kurang bahan paku dalam kerja saya. Maka meminta paku kepada majikan menjadi relevan karena sesuai dengan tugas saya sebagai arsitek kandang ayam.
Tapi kalau ditengah jalan, saya meminta jus atau gorengan combro, ya sepertinya itu mengada-ada saja. Akhlaknya kok ndak pas yah. Kita diminta majikan, pekerjaan belum selesai, sudah meminta ini itu yang tidak berkaitan dengan tugas besar kita. Itu berkait jauh, tapi sebenarnya malah tidak berkait. Untuk alasan produktifitas kita meminta jus dan gorengan, padahal yang ada adalah nafsu saja meminta ini meminta itu.
Sama seperti hidup.
Kalau hidup adalah amanah penugasan besar terhadap manusia dalam proyek peradaban alam semesta, maka meminta sesuatu yang berkaitan dengan kerja besar peradaban menjadi relevan. Saya boleh meminta fortuner, rumah besar, harta melimpah sampai akses dimana-mana kalau memang tepat orientasinya. Tetapi meminta sesuatu karena nafsu ingin, diri sendiri itu seperti meminta jus dan gorengan pada saat majikan kita meminta kita mengerjakan kandang ayam. Tidak tepat konteksnya.
Kalaupun dalam hidup kita diberi "jus" kemudian oleh majikan kita, itu bukan kita yang meminta, tapi semata-mata karena majikan kita cinta. Indah to?
Seperti apa saya? Ya, kemarin ke Haramain, masih meminta ini itu. Masih kurang tepat.
Musti mengulang.
Moskeng Ginto
Katuranggan
Saya musti belajar lagi, kisah-kisah nabi. Seperti apa perih juang mereka. Apa Ayub menahan perih sakit? Apa Yusuf dengan ketampanan wajahnya? Apa Ibrahim dengan ujian keyakinannya? Apa Isa dengan rasa satang kasihnya? Dimana posisi mereka dalam kehidupan manusia.
Saya musti belajar lagi, para sahabat nabi. Mereka yang setia menemani perjalanan nabi. Panas terik ketika hijrah, sakit perih ketika dihina. Hamzah si panglima perang. Usman si kaya derma. Ali sang gerbang ilmu. Zaid si penulis. Seperti apa letak mereka dalam perjuangan.
Saya musti belajar lagi, cerita wayang. Ramayana dan Baratayuda. Wayang satu kotak itu menunjukkan ratusribuan karakter umat manusia. Apa saya pandawa? Atau malah kurawa? Jangan-jangan hanya punakawan? Jadi gunung, hutan, pohon atau malah gajah? Tapi bukankah tidak ada peran yang hanya?
Juga musti belajar kepada musik, film, pengembaraan sains, kendara udara, pasukan bumi, SunGoKong, lalu binatang melata.
Dimana letak saya atas perjalanan ini. Dimana katuranggan terbaik saya. Dimana saya mengambil peran pada perang nanti. Apa pengibar panji, telik sandi, pasukan tempur, pembangun jalan, pengatur strategi, panglima, regu penolong, atau malah dirumah saja, tidak ikut perang. Menikmati teh hangat, mendoan, sembari baca berita perang.
Saya sedang mencocok-cocokkan.
Tabik,
Hilmy Nugraha
sent from smartphone
Pekerjaan Agama
Saya bersama teman-teman menyimpulkan bahwa yang dimaksud pekerjaan Agama bukan hanya sembahyang, puasa, zakat dan haji, melainkan juga mandi, makan yang tepat , berangkat ke tempat kerja mencari nafkah untuk anak istri, menolong siapa saja yang perlu ditolong, bikin koperasi partikelir, menghimpun tukang-tukang ojek dan pedagang kakilima, dan seterusnya.
Itu semua adalah pekerjaan Agama, alias menjalankan perintah Tuhan. Termasuk juga menyelenggarakan perkumpulan bulanan bersama puluhan ribu sahabat-sahabat sebangsa untuk saling mensinergikan kemampuan ekonomi, mencerahkan hati, menata pikiran, memperluas wawasan nasional, serta mengungkapkan apa adanya apa kandungan hati kami tentang kepemimpinan nasional yang berjasa menciptakan kegelisahan-kegelisahan. Itu semua adalah pekerjaan Agama.
Dan karena pekerjaan Agama, maka teman-teman saya yang lain, yaitu para pejuang sosial modern di kota-kota, menganggapnya tidak progresif, tidak kritis, tidak ada hubungannya dengan demokrasi. Maka hanya kami sendiri yang menikmati manfaatnya, padahal kehidupan kami tidaklah untuk kami sendiri, melainkan untuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (182)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Tabik,
Hilmy Nugraha
sent from smartphone
Pojok Jembatan
Guadalupe, dari situ cukup naik jeepney sampailah kami ditempat peristirahatan.
Disini banyak orang berkeringat. Kemana-mana bawa handuk
Tabik,
Hilmy Nugraha
sent from smartphone
Terdampar
Pertanyaan saya tetap, akan dimana ujung perjalanan ini. Atau jangan-jangan, memang tak berujung?
Berat.
Ternyata berat juga berpisah. Saya belum pernah merasakan sedalam ini. Saya yang hendak terbang melintasi benua, melihat jernihnya mata Rini dan Bumi, saya nggrentes.
Batin saya tak kuat. Seharusnya syaraf memerintahkan mata saya untuk berair, tapi saya tahan sekuat tenaga. Semua anggota keluarga ada. Saya salami satu persatu, saya pandangi mata mereka.
Iya, meski seperti lagu "Pergi Untuk Kembali", bagi saya ini tetap perpisahan. Dan berat bagi saya. Beberapa orang siap untuk menghadapi pertemuan, tapi gentar menghadapi perpisahan. Dua-dua musti kita telan. Meskipun hanya sekali.
Tabik,
Hilmy Nugraha
sent from smartphone