@hilmyhilmyx
- sent from my Lenovo Android
aku membaca karena aku mewajibkan diriku untuk menulis
Mbah Nun
11 April 2015
Yogyakarta.
- sent from my Lenovo Android
Aku jadi ingin bertanya, apa keinginannya saat ini. Pernah ia berkata, aku ingin menguasai dunia. Ah, ambisius sekali pikirku. Hanya kujawab dengan tegukan kopi.
Waktu baginya pun selalu berjalan dengan cepat. Tik tok tik tok. Berlari melaju, seperti ia yang senang dengan kecepatan motor besarnya. "Dengan ini, aku mengendarai waktu," katanya saat itu.
Hidupnya pun ia buat penuh dengan patokan. Tidak sepertiku yang senang bersantai, ia benci sekali berjalan tanpa tujuan. "Ah, kau membosankan," lepasku malam itu. Ia pun berlalu dengan senyum, "Banyak yang harus kukerjakan."
Ia menatap ke jalan. Matanya terang. Senyumnya dalam. Tidak hanya membawa api, tapi juga siap menebar air, tanah, udara kemana ia pergi. Ransel hitam dipundaknya penuh dengan doa. Pakaian andalannya? Tetap jeans belel dan kaos yang seperlunya berganti. Penuh dengan berbagai persiapan sejak jauh hari.
Kali ini, aku masih ingin bertanya, apa keinginannya. Lalu ia menjawab, "Aku sudah tidak menginginkan apapun untuk diriku." Dan aku hanya tersipu kemudian tertunduk pada kopi.
Kini, waktu baginya berjalan lebih tepat. Tak tik tuk, tak tik tuk. Setepat kecepatan motor 70an kesayangannya. "Dengan ini, aku lebih menghikmahi waktu," terangnya padaku.
Terimakasih untuk segala metamorfosa yang terjadi di hidupmu. Terimakasih untuk hidup yang kau persembahkan untuk kami. Terimakasih untuk semua, kekasihku, sahabatku, rivalku, mentorku, suamiku, dan ayah dari anakanakku. Teruslah hidup. Teruslah urup.
Selamat ulangtahun. Aku mencintaimu, selalu.
70% perabot rumah saya dibuatnya. Halus, rapi dan memuaskan. Memang ada orang yang diciptakan demikian. Punya keahlian spesifik tanpa tanding.
Dan dia orang yang sudah tahu, mengapa ia turun ke bumi.
Hilmy Nugraha
@hilmyhilmyx
- sent from my Lenovo Android
Farid Gaban mengatakan, hidupnya simple living. Berguru pada Thoreau, filosof Amerika penulis Walden. Sampai saya ketemu, dia tidak memiliki mobil, baginya kalau memang cukup hidup dengan motor, ya sudah. Makan sederhana. Perabot rumah seadanya. Saya lihat sendiri. Ada banyak sekali hal yang bisa saya pelajari darinya. Tentang kesederhanaan hidup.
Meski begitu, ia tidak lepas berkarya. Anaknya kuliah di Jerman.
Ukuran luar biasa.
Hilmy Nugraha
@hilmyhilmyx
- sent from my Lenovo Android
Elyas, teman baik saya ini lulusan Universitas Cendrawasih, Jayapura. Otaknya cerdas, usai S1 dia pergi ke Prancis untuk studi lanjutan. Koneksinya banyak.
Pantas saja, dia kan sekretaris gerakan mahasiswa papua, underbow-nya OPM. Sewaktu bersama, saya tanya, apa kamu mendukung untuk berpisah dengan Indonesia. Lantang ia jawab, ia! Indonesia tidak ada bedanya dengan Belanda, sama-sama penjajah. Mungkin detik itu saya berfikir bahwa dia terlalu termakan propaganda OPM atau doktrinasi seniornya, tapi sekarang saya paham. Betapa Indonesia menjadi hal yang asing di tanah Papua. Yang mereka kenal hanyalah kerakusan orang Jakarta. Patriotisme Elyas pada Papua tidak diragukan lagi. Tanahnya itu tanah Papua.
Yang lebih penting dari itu. Kami tetap bersahabat baik. Saling berkirim kabar. Meski kami nantinya akan berbeda negara, mungkin. Tapi kami junjung satu nilai sama, kemanusiaan. Dan itu yang ia pelajari selama ini.
Hilmy Nugraha
@hilmyhilmyx
- sent from my Lenovo Android
Copyright © menjadi Hilmy Nugraha
Theme by BloggerThemes & | Design by awfy