Itu menyebabkan saya membiarkan diri "gedhe rumongso" mengaku-ngaku mereka sebagai anak saya, didalam pesawat rohaniyah kegembiraan dan kebanggaan hidup saya dalam penugasan yang ini. Anak-anakku itu terampil dan prigel mengolah Bumi, untuk diakhiratkan. Anak-anakku itu canggih dan tekun mengelola materi dan materialitas tidak menjadi materialisme dan tanpa pernah menjadi materialistis. Anak-anakku yang dilimpahi juguran syafaat oleh Kanjeng Nabi itu sangat memiliki kewaspadaan intelektual dan spiritual untuk tidak menjalani kehidupan ini dengan adrenalis keserakahan mencari laba-laba sebanyak-banyaknya karena beranggapan seolah-olah mereka akan hidup selama-lamanya. Kemudian mengakali dan mengeliminir kerakusannya itu dengan kerajinan ibadah yang dilokalisir dan dimanipulir sebagai satu-satunya tindakan yang bermakna akhirat. Tidak. Anak-anakku Juguran Syafaat mengolah bumi, bekerja keras, mengendalikan materi, untuk justru diakhiratkan, ditemukan makna keabadiannya, ditarikati akurasi keakhiratannya. Anak-anakku Juguran Syafaat menggenggam batu, kayu, logam, lembaran-lembaran dan cairan-cairan, tidak untuk mendirikan Monumen Bumi, melainkan dirohanikan menjadi Kesejatian Sorga. Sebab mereka bukan sekedar "ka-annaka taísyu abadan", seakan-akan hidup selama-lamanya, melainkan "li-annaka taísyu abadan" — karena memang engkau hidup hingga abadi, karena ujung perjalananmu adalah menyatu dengan dan kepada Allah, bahkan meniada "menjadi" Allah, karena engkau dan kita semua tidaklah sesungguh-sungguhnya ada. Dan Allah itu abadi. Siapakah selain Allah yang pasti abadi?
Mbah Nun
11 April 2015
Yogyakarta.
- sent from my Lenovo Android
0 kata-kata:
Posting Komentar