#14 : Ki Sunan dan Ki Juru
Sejak berabad-abad yang lalu hingga — barangkali — berabad-abad yang akan datang, salah satu sumber tegangan sosial atau konflik peradaban dalam masyarakat dan Negara manusia, adalah perbenturan antara otoritas Negara dengan otoritas agama. Segala jenis pertentangan, pada skala kehidupan sehari-hari maupun yang lebih luas dan lebih sistemik, sesungguhnya disumberi oleh pertentangan dasar tersebut.
Sesudah Abad Pertengahan, peradaban masyarakat Eropa mengalami kebangkitan rasionalisme yang mencerahkan sejumlah kegelapan nilai dasar manusia. Salah satu hasilnya adalah filosofi sekularisme yang secara tegas memilahkan otoritas Negara dari otoritas agama.
Sejak itu wilayah agama menjadi sangat terbatas pada lingkar privacy setiap orang. Agama “tidak boleh” seenaknya mengatur kehidupan manusia dari dapur, kamar mandi, gardu hingga istana Negara. Ia hanya punya kapling yang hanya menyangkut komunikasi antara individu dengan Tuhan. Lalulintas di jalan raya, juga lalulintas uang dan birokrasi, bukan Agama yang berhak mengaturnya. Teokrasi adalah momok dari masa silam yang tak boleh bangkit kembali dari kuburnya.
Dalam sejarah pra-Indonesia, konflik semacam itu sesungguhnya telah ada, setidaknya secara embrional.
Raja-raja Majapahit memang memeluk ramuan unuk antara Hindu dengan Budha, tetapi konsep kerajaan dan kepemerintahan yang berlaku sama sekali berada di tangan Raja dan lingkarannya. Secara “natural”, otoritas negara ketika itu telah mengatasi kekuasaan Agama.
Tatkala Brawijaya terakhir bersedia “memangkas rambut”-nya atas fetakompli Raden Patah, kemudiaan Nyoo Lay Wa — Gubernur Majapahit ketika Demak telah membawahinya — dibunuh beramai-ramai oleh sisa rakyat Majapahit non-muslim: seolah-olah teokrasi Islam sedang didirikan.
Pemerintahan Demak dilatari oleh kewibawaan dan otoritas politik para Wali. Islam pesisir memberi format pada pelaksanaan pemerintahan kesultanan dan kehidupan rakyatnya. Meskipun ketika itu telah ada perbedaan approach politik dan kultural antara para Wali bang-wetan di Surabaya dan Gresik dengan Wali pesisir utara Kudus Semarang, di mana Sunan Kudus telah menerapkan suatu model persuasi Islam terhadap idiom-idiom kebudayaan Jawa — tetapi dominasi otoritas Agama atas kerajaan tetap sangat menonjol.
Sampai akhirnya Sunan Kalijaga menegaskan pendekatan kultural itu secara lebih masuk ke dalam rempelo ati kebudayaan Jawa. Sampai akhirnya ia mendorong transformasi untuk menseimbangkan antara dua orotitas itu dan melatarbelakangi pola kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Dan akhirnya Arya Penangsang mbrodol ususnya oleh tombak Jebeng Sutawijaya.
Barangkali memang menarik posisi Pajang: tidak terlalu pesisir, tidak terlalu pedalaman. Seolah-olah letak geografis Pajang mewakili peletakan strategi penyeimbangan otoritas itu.
Tetapi yang terjadi adalah Panembahan Senopati menggantikan legitimasi Wali dengan Nyai Roro Kidul, yang sebenarnya sekedar merupakan perlambang dari otoritas kekuasaan Jawa. “Negara” dalam terminology Panembahan Senopati — atas konsep yang disusun oleh Ki Mondoroko Juru Martani — jumbuh dengan kebudayaan Jawa itu sendiri.
Strategi Ki Juru adalah merangkul Agama dalam batas formalism politik, tapi menghambatnya secara kultural. Ketika cucu Sultan Agung kemudian tak mampu lagi mempertahankan moderasi strategi ini, yang terjhadi adalah ekstremitas kekuasaan Negara di mana ribuan Kyai dibantai habis.
Itulah “Abad Pertengahan” dalam sejarah Jawa.
Otoritas Agama kemudian terkebiri. Mereka termarjinalisir. Lari ke Pinggiran. Sembunyi di semak-semak belukar. Mendirikan pesantren-pesantren yang “memisahkan diri dari dunia”.
Ketika kemudian kekuasaan “Negara Mataram” berkembang makin canggih dengan peralatan birokrasi dan militer yang mampu menjangkau “helai rambut di ketiak” para penyembunyi itu: kemungkinan yang terjadi hanya dua. Pertama, mereka gampang mengamuk. Kedua, mereka gampang menggantungkan diri justru pada kekuasaan Negara.
Keadaan seperti itu berlangsung sampai hari ini.
Tulisan ini bukanlah mendambakan bangkitnya kembali otoritas Agama untuk mengatur Negara. Melainkan sekedar secara rasional dan dengan kerinduan demokrasi: memimpikan penyeimbangan yang dewasa serta kemungkinan kerjasama anatara dua macam otoritas itu.
Saya tidak bahagia menyaksikan Ki Sunan berperang tanding melawan Ki Juru. Kita memerlukan formula kerjasama. Kooperasi dan interdependensi. Bukan dependensi salah satu pihak.
Arsip dan Dokumentasi Progress
Muhammad Ainun Nadjib
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 kata-kata:
Posting Komentar