hikayat penderes


Sebuah pedesaan hidup dengan rutinitas yang sama sejak ratusan tahun yang lalu. Petani hidup bertani mencangkul sawah, menanam padi kemudian menjualnya ke pedagang. Pedagang menjalankan urat nadi perpindahan barang di pasar-pasar tradisional. Sisanya menjalankan fungsi masing-masing kehidupannya.

Alkisah, suatu hari ada hal yang ganjil yang ada di kebun seorang petani. Ya, ada burung merak hinggap di sebuah pohon albasia. Seorang petani inipun merasa penasaran dengan burung ini. Burung yang sungguh indah bulunya, baik tekstur, pola dan juga warnanya. Dengan cepat petani itu berlari kearah burung kemudian hendak menangkapnya. Tapi apa dikata burung itupun terbang kesana kemari, hinggap dari satu dahan ke dahan yang lain. Petani inipun selalu berusaha untuk menangkapnya.

Tiba-tiba burung itu hinggap di mayang pohon enau (aren). Karena pohon enau ini tinggi, maka petanipun tak hilang akal. Dilemparkannya sabit kearah mayang tersebut hingga terpotong dan mengeluarkan air. Burung merak itupun terbang jauh, entah kemana. Petani yang mulanya begitu penasaran dengan burung merak, berubah penasaran dengan air yang keluar dari goresan mayang pohon enau. Petani itupun mencicipi air tersebut, dan tidak menyangka ternyata rasanya manis.

Petanipun memanggil pembesar kampung untuk memberitahu penemuannya tersebut. Pembesar kampung heran dan langsung melaporkan hal ini kepada dewa Kanekaputra. Dewa Kanekaputra adalah patih di kahyangan. Lalu mereka menampung air mayang tersebut dalam ruas bambu yang disebut dengan pongkor. Pongkor berisi air tersebut dibawanya ke kahyangan oleh dewa Kanekaputra dan diberikannya kepada Batara Guru, pemimpin kahyangan. Batara Guru marah ketika mengetahui Kanekaputra sudah mencicipi air tersebut sebelum diperintah Batara Guru. Batara Gurupun mengutuk Kanekaputra menjadi buruk rupa, dan beralih nama menjadi Dewa Narada.

Batara Guru kemudian mengajarkan petani untuk mulai menderes/menyadap pohon enau. Mayang pohon enau itu harus digoyang-goyangkan serta dinyanyikan kidung-kidung pujian sebelum disadap. Ini bertujuan agar pohon enau merasa senang. Batara Guru juga mengajarkan untuk mengolah air tersebut, apabila diperam maka akan menjadi air ciu, kalau didihkan akan menjadi gula aren. Ketika pohon enau di desa tersebut sudah mulai berkurang, para petani mencoba untuk beralih ke pohon kelapa. Dan ternyata mempunyai sifat yang sama dengan pohon enau.


Saya mendapatkan cerita ini dari Ahmad Tohari, seorang budayawan Banyumas. Beliau bercerita panjang lebar tentang penderesan kelapa. Sudah satu novel, beberapa cerpen dan ratusan artikel yang sudah diterbitkan khusus untuk membahas tentang penderesan kelapa.

0 kata-kata: