kata Suyatna

ingat,

kesibukan tak ada korelasinya dengan produktifitas!

2 kata-kata:

Anonim mengatakan...

(*Dari potongan ceritaku: JAKARTA NOL KILOMETER, Man!

Perkara pekerjaan ternyata bukan perkara uang semata. Sering orang salah merepresentasikan. Idealnya, mindset “pekerjaan adalah ibadah yang menyenangkan” tertanam pada diri setiap pekerja. Ini tidak. Kebanyakan, pekerjaan adalah rutinitas dari pagi yang berakhir malam hari. Bahayanya lagi, sering orang merasa menjadi mesin bagi pekerjaan yang sebenarnya sangat dia benci. Rutinitas yang salah. Pemrograman otak yang keliru. Penciptaan yang tidak seharusnya. Misscreation. Namun paling tidak, itu sudah lebih baik dari perkara berikut: kesibukan yang tidak produktif. Kok bisa? Iyalah bisa. Temanku Uzan adalah salah satu orangnya. Hari-harinya adalah kesibukan. Hari-harinya adalah padat jadwal. Menjelang tidur dia menyusun rencana dan janji. Pagi dia mandi dan siang entah makan siang di mana, sore masih belum pulang, malam sebelum jam dua belas sudah pasti belum sampai di kos! Bisa dibayangkan hebatnya manusia ini jika yang dikerjakan ini adalah tindakan produktif. Namun si manusia sibuk itu kini masih membusuk menjadi mahasiswa perbaikan. Tidak hanya satu-dua mata kuliah yang musti dia inputkan lagi dalam sks-nya yang baru, empat paling tidak! kesibukan yang tidak produktif yang menimpa sahabatku Uzan adalah salah satu boomerang baginya. Suatu saat akan menyerangnya. Kini dia tak merasakan boomerang itu, sebab dia masih nyaman terbuai dalam zona comfort. Comfort zone!

Perkara yang pertama kusebutkan di atas bukan berarti tidak produktif. Hanya saja kurang. Andai saja mau diubah dan dimaksimalkan mungkin menjadi lebih luar biasa. Sebagaimana Kalian tahu, aku termasuk orang yang percaya kekuatan manusia tak terbatas. Kemauannya, yang serba apa saja, sangat mungkin tercapai. Orang yang bekerja hanya demi rutinitas seharusnya sadar, ada gen dorman yang masih sangat mungkin untuk dinyalakan. Dengan begitu, bekerja bukan lagi karna takut tak makan. Bekerja bukan lagi tuntutan teknis. Bekerja adalah bidang keahliannya. Subbidang yang dia cinta dan mimpikan. Caranya pun mudah, cukup menekan saklar gen dorman yang ingin dinyalakan.

Sedangkan aku sendiri bingung sedang berada pada zona yang mana. Pekerjaanku memang prestice bagi anak seumuranku. Paling tidak bagi teman kampus yang sampai saat ini bingung merevisi bolak-balik skripsinya. Lebih baik seratus kalilipat dari mahasiswa perbaikan bernama Uzan.

Anonim mengatakan...

Butuh sehari mencintai seseorang. Butuh waktu yang lama untuk melupakannya. Butuh waktu semenit membaca buku, butuh sepuluh menit mendalaminya. Butuh waktu semenit merencanakan sesuatu. Butuh waktu yang sangat lama untuk memulainya.

Rutinitas adalah penjara. Waktu adalah harga mati masa hitung. Sehari tetap 24 jam. Dua belas jam sudah pasti aku di kantor menjalani pekerjaan prestisiusku. Tersisa dua belas jam! Kalau terpaksa kupotong tiga jam saja untuk istirahat mengikuti trik juang Napoleon, masih sisa sembilan jam. Aku mati-matian berpikir. Kukerahkan segala informasi dan referensi. Kupanggil informasi dalam DNA yang mungkin bisa menghasilkan tambahan pendapatan. (*Jakarta Nol Kilometer