Lagu Anak

 Kekalahan budayawan kita adalah tidak lagi memperhatikan lagu anak-anak, padahal lagu anak-anak ini adalah penyimpan memory terpanjang dan abadi. Karena disimpan dalam lagu anak-anak. Dan karena kebijakan mengurus kekuasaan jawa oleh sunan kalijogo dituangkan dalam lagu anak-anak yang berjudul Gundul-gundul Pacul, maka semua orang hafal sampai saat ini.

- CN

Di Zawiyah Sebuah Mesjid

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

“Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya,” berkata Pak Kiai kepada santri pertama, “apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?”

“Agama,” jawab santri pertama.

“Berapa jumlahnya?”

“Satu.”

“Tidak dua atau tiga?”

“Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan.”

**

Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, “Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?”

“Islam.”

“Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?”

“Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda.”

“Kenapa kau katakan demikian?”

“Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam.”

“Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?”

“Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia.”

**

Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. “Allah mengajari Adam nama benda-benda,” katanya, “bahasa apa yang digunakan?”

Dijawab oleh santri ketiga, “Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur’an.”

“Bagaimana membuktikan hal itu?”

“Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam.”

“Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?”

“Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah.”

“Maksudmu, Nak?”

“Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur’an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur’anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi.”

**

“Temanmu tadi mengatakan,” berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, “bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?”

“Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan,” jawab santri keempat, “Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan.”

“Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?”

“Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah.”

“Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?”

“Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu –sebelum dimanipulasikan– sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama –dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan– sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia.”

**

Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, “Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?”

“Islam, Kiai.”

“Apa agama Ibrahim?”

“Islam.”

“Apa agama Musa?”

“Islam.”

“Dan agama Isa?”

“Islam.”

“Sudah bernama Islamkah ketika itu?”

“Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum.”

**

“Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?” Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.

“Membebaskan,” jawab santri itu.

“Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!”

“Menyelematkan, Kiai.”

“Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?”

“Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa’ atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam –sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu– dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah.”

“Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?”

“Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah.”

**

Pak Kiai menuding santri ketujuh, “Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?”

“Benar, Kiai,” jawabnya, “Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah.”

“Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?”

“Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya.”

“Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?”

“Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya.”

**

“Cahaya Islam. Apa itu gerangan?”

Santri ke delapan menjawab, “Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra’. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia.”

“Pemikiranmu lumayan,” sahut Pak Kiai, “Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?”

“Ya, Kiai.”

“Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?”

“Dinihari rekayasa teknologi.”

“Dari Nuh?”

“Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah.”

“Hud?”

“Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih.”

“Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?”

“Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil.”

“Pada Ismail?”

“Pengurbanan dan keikhlasan.”

“Ayyub?”

“Ketahanan dan kesabaran.”

“Dawud?”

“Tangis, perjuangan dan keberanian.”

“Sulaiman?”

“Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan.”

“Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!”

“Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian.”

“Dari Zakaria?”

“Dzikir.”

“Isa?”

“Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub.”

“Adapun dari Muhammad, anakku?”

“Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya.”

**

Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. “Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?”

“Tak menentu, Kiai,” jawab sanri terakhir itu, “Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub –tetapi– yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir’aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu.”

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, “Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami.”

“Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan.”

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.

“Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera.”

“Anakku,” Pak Kiai menyela, “pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa.”

“Insyaallah tidak, Kiai,” jawab sang santri, “Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir’aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang.”

**

Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.

“Sampai tahap ini,” kata Pak Kiai, “cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab.”

“Kami berusaha, Kiai,” jawab mereka.

“Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?”

“Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan,” berkata salah seorang.

“Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang,” sambung lainnya.

“Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat,” sambung yang lain lagi.

“Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah.”

“Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan.”

“Hikmah, maw’idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan.”

“Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah.”

“Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan.”

“Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah.”

Pak Kiai tersenyum, “Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?”

“Lentur, Kiai!” kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.

“Fal-yatalaththaf!” ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, “titik pusat Al-Qur’an!”

1987 Emha Ainun Nadjib

Medley Era - Kiai Kanjeng



Orang boleh stress dengan tekanan hidupnya. Belum lulus kuliah, belum punya pekerjaan, belum menikah, belum punya anak, banyak hutang, atau berbagai dimensi tekanan hidup yang ada. Tapi di Maiyahan, seolah semua terobati oleh Pakde-pakde Kiai Kanjeng. Irama-irama yang disajikan mereka, seakan memompa imun yang tertanam dalam diri kita. Menjalar, mengobati sistem syaraf yang sedikit berbelok menjadi normal kembali.

Dengan apik mereka menggarap lagu Medley Sepanjang Masa. Tidak main-main. Dari tahun 1950 hingga 2010. Tentu bukan ribuan lagu. Tapi diambil yang hits saja. Pilihan-pilihan Kiai Kanjeng amat jitu. Sangat tepat dengan selera kita.

Dihentak dengan irama semangat, lagu Maju Tak Gentar, tahun 50an membawa semangat untuk selalu maju. Usai itu lagu Begadang Jangan Begadang–nya Rhoma Irama, mengingatkan kita pada raja dangdut. Lagu yang diciptakan tahun 70an ini masih relevan didengar hingga kini. Diganjar apik dengan nomor Kisah Kasih di Sekolah–nya Obi Mesakh, gaya 80an terasa kental. Terlihat ibu-ibu muda ikut menyanyikannya dengan penuh semangat.

Yang mengagetkan ketika nomor Putri–nya Jamrud dimainkan oleh Kiai Kanjeng. Seketika itu pemuda-pemuda tahun 90an menyambut dengan sorak sorai penuh tenaga. Irama rock membuat mereka bersemangat. Nuansa pelan memasuki Ruang Rindu-nya Letto. Pelan dan dalam. Lagu Letto memang pas. Lagu tahun 2000an ini hampir semua bisa menyanyikannya. Sebagai puncak, lagu dangdut Suket Teki, dinyanyikan full song bersama, lengkap dengan 'hak e hokya'-nya. Dan hampir semua hapal meski hanya reffrain-nya bahkan beberapa orang turut berjoget.

Irama, suara, melodi, musik menjadi salah satu pemicu kebaikan. Dibeberapa tempat, mungkin musik diharamkan. Tapi di forum sinau bareng, musik adalah media penyambung rasa antar jamaah. Sebuah metode menuju kebahagiaan bersama. Seperti kata Mbah Nun, Sinau dadi wong suwargo. Dimana-mana belajar mengambil kebahagiaan dalam kondisi apapun.





Lagu Hompimpaa

 bermain di taman kota
kegiatan penuh macamnya
bermain musik, cipta hasta karya
seluruhnya harus dicoba

membuat lingkaran cinta
ada dongeng dan cerita
satu berbagi untuk semua
belajar bersama oh asyiknya

mari bermain!
tumbuh sederhana
jelajah bersama
menemu makna

hompimpaa alaium gambreng
si pongo suka kisah dongeng



Dolanan Bocah

 Di Langit yang Terang, Rembulan Bersinar
Anak-anak riang, berlarian tanpa henti
Bermain dolanan, penuh dengan kisah fantasi
Petak umpet di sana, bentengan di sini

Dalam permainan, mereka serius menjaga janji
Mengikuti aturan, setia pada permainan sejati
Menang atau kalah, bukanlah tujuan akhir
Kegembiraan bersama, itulah yang terpenting

Keringat mereka bercucuran, tertiup angin malam
Bergerak lincah, melawan dingin yang datang

Dari permainan ini, kesungguhan mereka belajar
Menikmati setiap detik, dalam permainan yang berharga
Mereka menabung kenangan, untuk masa depan yang cerah
Sebagai bekal hidup, di hari yang akan datang

Awal yang Sederhana

Di penghujung senja, dua jiwa berpapasan
Tanpa tanda, tanpa asa, di persimpangan masa
Tak ada yang terukir, tak ada yang terpikir
Hanya lemparan senyum, dan sapa yang terucap ringan

Namun tanpa duga, benih rasa mulai bertunas
Dari pandangan yang semula kosong, kini memancarkan makna
Kau dan aku, yang dulu hanya lewat tanpa kata
Kini hati berkata, ada rindu yang tersembunyikan

Perlahan namun pasti, kita menari dalam irama
Dari sekedar teman, kini kau menjadi puisi jiwa
Tak lagi sekedar tawa, atau canda yang terlupa
Kini ada harapan, yang terjaga di setiap sujud pagi

Dan kini, di setiap jejak yang kita ukir
Ada cerita cinta, yang tergores abadi
Dari yang sederhana, kini menjadi luar biasa
Karena cinta, telah memilih kita

Kisah ini, tak lagi hanya tentang aku dan kamu
Melainkan tentang kita, yang telah menemukan satu rasa yang baru
Dari yang sederhana, kini menjadi sebuah ikatan cinta
Yang akan kita jaga, hingga akhir nafas

Telah Usai

 Telah Usai, kini berakhir cerita
Tak lagi ada, janji yang terucap sia-sia
Sudah saatnya, kita lepas semua mimpi
Yang pernah terpatri, di hati

Telah Usai, biarkan kenangan berlalu
Langkah kaki ini, takkan lagi ragu
Kita telah melewati, lebih dari sekedar luka
Kini hanya tersisa, asa yang murni

Percayalah hati, ini bukan akhir segalanya
Meski telah usai, kita kan terus melangkah
Biarkan lara, menjadi saksi bisu
Bahwa pernah ada kita, dalam ikatan suci

Oh, lara
Oh, la-la-la
Percayalah hati, kita telah melewati
Lebih dari sekedar hari, yang penuh warna

Telah Usai, namun cinta takkan pernah mati
Hanya bertransformasi, menjadi kekuatan hati
Dan biarlah waktu, yang akan menjawab semua
Telah Usai, untuk kita berdua

Small is Beautiful

Ekonomi bukan hanya tentang angka dan grafik pertumbuhan; ia adalah cerita tentang manusia dan komunitasnya. Di tengah hiruk-pikuk pasar global, kita sering lupa bahwa di balik setiap transaksi terdapat wajah-wajah, mimpi, dan harapan. E. F. Schumacher dalam "Small is Beautiful" mengingatkan kita bahwa ekonomi harus kembali ke akarnya: melayani manusia, bukan sebaliknya.

Dalam dunia yang terobsesi dengan skala besar dan efisiensi, Schumacher menawarkan visi alternatif: sebuah ekonomi yang menghargai kecil, lokal, dan pribadi. Dia berargumen bahwa perusahaan-perusahaan kecil, dengan keterikatan mereka pada komunitas lokal, lebih mampu memenuhi kebutuhan nyata manusia daripada raksasa korporat yang sering kali terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari.

Ketika kita membangun ekonomi yang berpusat pada manusia, kita tidak hanya menciptakan lapangan kerja atau produk; kita juga memelihara hubungan, memperkuat jaringan sosial, dan menghormati lingkungan. Ini adalah tentang menciptakan dunia di mana setiap individu dihargai, di mana setiap pekerjaan memiliki makna, dan di mana setiap produk dibuat dengan pertimbangan terhadap kesejahteraan bersama.

"Small is Beautiful" adalah seruan untuk berpikir ulang tentang apa yang kita nilai dalam ekonomi. Ini adalah undangan untuk memilih jalan yang lebih berkelanjutan, adil, dan manusiawi. Dalam setiap keputusan ekonomi yang kita buat, mari kita ingat bahwa yang kecil itu indah, dan sering kali, lebih berarti.

Kecil, Lokal, terbuka dan Terhubung

Di tengah keriuhan dunia yang serba cepat dan kompleks, muncul sebuah konsep yang menawarkan solusi berkelanjutan: SLOC—kecil, lokal, terbuka, dan terhubung. Konsep ini bukan sekadar ide, melainkan sebuah gerakan yang telah mengakar di berbagai belahan dunia.

Dalam dunia yang penuh dengan tantangan ekonomi dan lingkungan, kita membutuhkan model pembangunan yang berbeda. SLOC, singkatan dari Small, Local, Open, and Connected, adalah jawaban atas kebutuhan tersebut. Konsep ini mengajak kita untuk kembali ke skala yang lebih manusiawi, dimana komunitas dan keberlanjutan menjadi pusat perhatian. 

Kecil di sini bukan berarti tidak signifikan, melainkan sebuah sistem yang mudah dipahami dan dikelola. Dengan skala yang lebih kecil, individu dan komunitas dapat memiliki kontrol yang lebih besar atas lingkungan mereka, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih efektif dan efisien. 

Lokal mengacu pada pemanfaatan sumber daya dan keahlian yang ada di sekitar kita. Ini tentang membangun ekonomi yang berbasis komunitas, dimana setiap anggota dapat berkontribusi dan merasakan langsung dampak dari usaha mereka.

Terbuka berarti sistem yang inklusif dan transparan, memungkinkan pertukaran ide dan inovasi. Ini menciptakan peluang bagi kolaborasi antar individu dan komunitas, bahkan melintasi batas geografis.

Terhubung tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam pertukaran pengetahuan dan keahlian. Dengan terhubung, sistem lokal kecil dapat menjadi bagian dari jaringan global yang lebih luas, meningkatkan kapasitas dan jangkauan mereka.

Contoh nyata dari implementasi SLOC dapat dilihat dalam berbagai inisiatif seperti pertanian komunitas, kooperatif pangan, dan sistem barter lokal. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa SLOC bukan hanya teori, tetapi sudah menjadi praktek yang berdampak positif pada kehidupan banyak orang.

SLOC menawarkan pandangan baru tentang bagaimana kita bisa hidup dan bekerja bersama. Ini adalah langkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, dimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab dalam menciptakan dunia yang lebih baik. Dengan mengadopsi prinsip SLOC, kita dapat membangun masyarakat yang lebih tangguh, adil, dan sejahtera.

Dialog Imajiner #8

Kamso dan Darman duduk bersila di serambi, menatap langit yang mulai gelap, sambil berbincang tentang keadaan politik yang semakin tidak menentu.

Kamso: "Man, perpolitikan kita ini ibarat benang kusut. Semakin kita usahakan meluruskan, semakin kusut jadinya."

Darman: "Benar sekali, Kamso. Kita ini hanya rakyat biasa, sulit untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di panggung politik yang tinggi itu."

Kamso: "Memang, Darman. Yang kita rasakan hanyalah dampaknya saja. Harga-harga yang naik, pekerjaan yang susah didapat, itulah yang kita ketahui."

Darman: "Para politikus berlomba-lomba menyuarakan janji, namun setelah terpilih, janji-janji itu seringkali terlupakan."

Kamso: "Seharusnya mereka itu memikirkan nasib rakyat kecil seperti kita, bukan hanya sibuk berebut kekuasaan."

Darman: "Namun, Kamso, kita hanya bisa berharap dan berdoa, semoga ada pemimpin yang benar-benar peduli dengan rakyatnya."


Dialog Imajiner #7

 Kamso dan Darman duduk bersimpuh di beranda rumah bambu, mengamati langit yang mulai meredup.

Kamso: “Man, kau lihat sendiri kan, bagaimana desa kita berubah? Teknologi telah membawa arus perubahan yang tak terbendung. Aku khawatir, kita kehilangan esensi diri kita.”

Darman: “Aku tahu, Kamso. Semua berubah begitu cepat. Individualisme, materialisme, konsumerisme… itu semua seakan menjadi tuan baru yang menguasai pikiran dan hati warga desa.”

Kamso: “Tapi, Man, bukankah itu semua bagian dari keniscayaan? Kita tidak bisa menghentikan waktu. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah menjaga keluarga inti kita, komunitas terkecil kita.”

Darman: “Benar, Kamso. Itu memang tanggung jawab kita. Kita harus menjadi pemimpin yang baik, setidaknya untuk keluarga kita sendiri.”

Kamso: “Kita harus menunjukkan dengan teladan, bukan hanya kata-kata. Kita harus menjadi benteng bagi nilai-nilai yang kita percayai, agar tidak hilang ditelan zaman.”

Darman: “Aku ragu, Kamso. Apakah itu cukup? Apakah kita bisa melawan arus yang begitu kuat ini?”

Kamso: “Kita mungkin tidak bisa melawan arus, tapi kita bisa mengarahkannya. Kita bisa mempengaruhi keluarga dan komunitas kita untuk tetap memegang teguh nilai-nilai yang benar.”

Darman: “Aku berharap kamu benar, Kamso. Aku berharap kita masih bisa mempertahankan jati diri kita, meski dunia terus berubah.”

Dialog Imajiner #6

 Dalam kesunyian hati, Darman merenung dalam monolog yang mendalam:

"Di tengah keheningan malam, aku berdialog dengan kesendirian. Melihat negeri ini, hatiku berat oleh beban pesimisme. Kepada siapa lagi aku harus berpaling? Pemerintah yang seharusnya menjadi sandaran, kini bagai kapal yang terombang-ambing tanpa kemudi. Ulama yang dulu kukagumi, kini lenyap keikhlasannya, tenggelam dalam lautan materialisme. Ahli-ahli yang seharusnya menjadi penerang, malah menjadi penjerat bagi sesama.

Hanya pada-Mu, Tuhan, aku bisa mengadu. Hanya pada-Mu, aku bisa menumpahkan segala keluh kesah. Di saat semua tampak suram, hanya Engkau lampu di ujung terowongan. Harapan, meski secercah, harus tetap ada. Itu bukti iman masih bertengger di relung hatiku.

Biarkanlah harapan itu menjadi benih, tumbuh perlahan di tanah yang gersang. Biarkanlah ia menjadi tanda bahwa aku masih percaya, masih ada kebaikan yang akan datang. Ya Tuhan, dalam diam, aku berdoa, semoga Engkau menuntunku melalui kegelapan ini, menuju fajar yang penuh rahmat-Mu."

Dialog Imajiner #5

 Kamso dan Darman duduk berhadapan, cangkir teh di antara mereka menguapkan aroma yang menenangkan. Kamso memulai dengan suara yang penuh kekhawatiran namun tetap tenang.

“Mon, lihatlah negeri kita. Di setiap lini, di setiap sendi kehidupan, tampaknya hanya kerusakan yang terlihat. Korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan merajalela. Namun, aku masih melihat sinar harapan. Keluarga-keluarga di Indonesia masih bertahan, masih ada rukun dan gotong royong yang menjadi fondasi kita.”

Darman menyesap tehnya, matanya menunjukkan keraguan. “Kamso, aku ingin percaya seperti kamu. Tapi, aku melihatnya sebagai pengecualian, bukan norma. Kita tenggelam dalam masalah yang begitu kompleks dan aku tidak yakin apakah semangat gotong royong saja cukup.”

Kamso menatap Darman, matanya bersinar dengan tekad. “Tidak, Mon. Justru di saat-saat sulit inilah kita harus menggenggam erat nilai-nilai itu. Gotong royong bukan hanya tentang membantu tetangga, tapi juga tentang membangun bangsa. Jika setiap keluarga bisa mempertahankan nilai-nilai ini, aku yakin Indonesia bisa bangkit.”

Darman menghela napas, masih belum yakin. “Aku berharap kamu benar, Kamso. Aku hanya takut bahwa kita terlalu optimis dan lupa melihat realitas yang ada.”

Kamso tersenyum, “Realitas bisa berubah, Mon. Dan itu dimulai dari kita. Dari keluarga kita, dari komunitas kita. Mari kita jadikan optimisme ini sebagai api yang membakar semangat perubahan.”

Pertanian Alami ala Masanobu Fukuoka


Gaya hidup tradisional di Jepang memiliki keunikan tersendiri, terutama dalam hal pertanian. Salah satu tokoh yang mengamati dan mempelajari metode pertanian ini adalah Masanobu Fukuoka. Dia bukan hanya seorang pengamat, tetapi juga seorang praktisi yang menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.

Fukuoka menemukan bahwa ada kesamaan antara metode pertanian tradisional di Jepang dan pendekatan pertanian alami yang ia kembangkan. Kedua metode ini menekankan pada harmoni dengan alam dan siklus alamiah yang ada. Ini bukan tentang mengendalikan alam, tetapi lebih kepada bagaimana kita bisa bekerja sama dan beradaptasi dengan alam.

Pertanian alami yang dikembangkan oleh Fukuoka berakar pada pengamatan dan pengalaman langsungnya dengan metode pertanian tradisional. Dia melihat bagaimana petani di Jepang bekerja sama dengan alam, bukan melawannya. Mereka membiarkan tanaman tumbuh sesuai dengan ritme alamiahnya, tanpa intervensi berlebihan.

Pendekatan ini, menurut Fukuoka, menghasilkan hasil yang lebih baik dan lebih sehat. Tanaman yang tumbuh dengan cara ini lebih kuat dan lebih tahan terhadap hama dan penyakit. Selain itu, metode ini juga lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan pestisida atau pupuk kimia yang bisa merusak ekosistem.

Secara keseluruhan, gaya hidup tradisional dan pertanian alami yang dikembangkan oleh Fukuoka menawarkan alternatif bagi pertanian modern yang sering kali berdampak negatif terhadap lingkungan. Melalui pendekatannya, Fukuoka mengajarkan kita bahwa solusi untuk tantangan pertanian masa kini mungkin sudah ada di sekitar kita, dalam bentuk pengetahuan tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Kecil itu Indah

 Ekonomi bukan hanya tentang angka dan grafik pertumbuhan; ia adalah cerita tentang manusia dan komunitasnya. Di tengah hiruk-pikuk pasar global, kita sering lupa bahwa di balik setiap transaksi terdapat wajah-wajah, mimpi, dan harapan. E. F. Schumacher dalam "Small is Beautiful" mengingatkan kita bahwa ekonomi harus kembali ke akarnya: melayani manusia, bukan sebaliknya.

Dalam dunia yang terobsesi dengan skala besar dan efisiensi, Schumacher menawarkan visi alternatif: sebuah ekonomi yang menghargai kecil, lokal, dan pribadi. Dia berargumen bahwa perusahaan-perusahaan kecil, dengan keterikatan mereka pada komunitas lokal, lebih mampu memenuhi kebutuhan nyata manusia daripada raksasa korporat yang sering kali terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari.

Ketika kita membangun ekonomi yang berpusat pada manusia, kita tidak hanya menciptakan lapangan kerja atau produk; kita juga memelihara hubungan, memperkuat jaringan sosial, dan menghormati lingkungan. Ini adalah tentang menciptakan dunia di mana setiap individu dihargai, di mana setiap pekerjaan memiliki makna, dan di mana setiap produk dibuat dengan pertimbangan terhadap kesejahteraan bersama.

"Small is Beautiful" adalah seruan untuk berpikir ulang tentang apa yang kita nilai dalam ekonomi. Ini adalah undangan untuk memilih jalan yang lebih berkelanjutan, adil, dan manusiawi. Dalam setiap keputusan ekonomi yang kita buat, mari kita ingat bahwa yang kecil itu indah, dan sering kali, lebih berarti.