Gontor itu Indah

Ada alasan kuat yang membuat saya tak dituduh "memuji-muji dan membangga-banggakan Gontor karena memang bekas almamaternya". Pada awal 1968, pasca-"revolusi lokal" yang gagal, saya mathrud alias diusir atawa dipecat dari pondok modern itu.

Ketika itu berlangsung semacam martial law. Hukum darurat. Gara-gara memprotes ketidakadilan Qismul Amn, semacam kopkamtib. Pak "pangkopkamtib" mengadili saya jam 02.00 dini hari hingga bakda subuh. Vonisnya, saya dideportasikan pagi itu juga, alias "gulung tikar angkat koper"- demikian istilahnya di sana.

Beberapa hari kemudian, saya ke Gontor lagi khusus untuk petentang-petenteng. Tak sampai setahun kemudian "panglima" keamanan dan ketertiban ini mengalami nasib seperti saya, "gulung tikar angkat koper". Namun, sejak itu "situasi politik" normal kembali.

Saya mensyukuri hikmah dari pengadilan subyektif itu. Bahkan penghargaan saya terhadap Gontor sama sekali tak pernah menurun. Pesantren masyhur itu, di masa silam memang pernah mencatat suatu mekanisme sistem hukum yang brutal dan agak primitif. Namun, secara keseluruhan, pola dan nuansa kependidikan Gontor adalah contoh kongkret dari banyak hal yang dewasa ini kita baru menggagas-gagasnya lewat perdebatan pemikiran di kota-kota yang selalu merasa lebih maju dibanding yang bukan kota. Dan bagi saya sendiri, pengusiran itu adalah metode yang sebaik-baiknya- suatu total alienation untuk suatu total loneliness- yang menyiksa saya untuk menjadi saya sekarang ini.

Sejak itu saya amat rakus dengan metode "bersikap sangat keras bahkan kejam kepada diri sendiri" dan menyeleksi cita-cita menjadi hanya sebiji: bekerja keras sampai hari terakhir hidup saya. Pernah saya menulis Gontor adalah camp Shaolin. Para santri bekerja dari pukul 04.00 hingga 22.00 nonstop, hidup dari bel ke bel. Makan, mandi, olahraga sekolah berduyun-duyun, tidur berjajar-jajar bagai pindang. Setiap anak berlatih membangun privacy, mendengarkan kesunyian diri, di tengah riuh-rendah.
Bahkan gegap-gempita latihan pidato tiga bahasa dan gemuruh tepuk tangan itu justru terasa begitu sepi di tengah sunyi pedusunan sekitarnya. Kalau di tengah sepi malam Anda membunyikan sedenting logam, suara itu menegaskan kesunyian.

Sepi juga isi pidato anak-anak itu: heroisme nasional, kisah tokoh-tokoh pengubah dunia, jargon-jargon bahasa Inggris, balaghah Arab, perekatan umat dan kemanusiaan- di tengah-tengah tradisi satu antargolongan Kaum Muslimin, degradasi nasionalisme, jangkauan-jangkauan sosio-politik dan sosio-budaya yang makin menyempit, tatkala teknologi informasi menyeribu-kali-lipatkan mata pandang manusia, serta di tengah idolatri masal terhadap hanya figur-figur musik rock dan kiper sepak bola.

Namun, yang paling sunyi adalah ketika datang magrib, isya, dan subuh. Tiga ribu santri menyuarakan kor puisi Abu Nawas tentang dosa sebilangan pasir di padang-padang yang tak terukur karena bertepikan cakrawala. Untunglah, yang mendendangkan sunyi adalah "seekor" Abu Nawas yang "sinting": "Ya Allah, hamba ini tak potongan masuk surga, tapi kalau harus masuk neraka ya jangan dong!".... Mendengarkan syair Abu Nawas macam itu sering tak bisa saya halangi benak saya spontan berkata, "Tuhan pasti jengkel, tapi juga pasti sayaaang banget sama si Abu itu ...."

Dan pada Lebaran yang lalu, hati saya tak tertahankan untuk tak ke Gontor sesudah hampir 15 tahun. Puisi Abu Nawas tak bisa dipentaskan keagungannya dengan kecanggihan peralatan apa pun, dan sejauh yang saya alami hanya di Gontor saya bisa memasuki puisi hidup Abu Nawas (baca: Abu Nuwas), karena segala konsep estetika dan religiusnya dipanggungkan di kedalaman jiwa dan kehidupan kongkret Pesantren Gontor.

Kemudian ternyata Pak Kiai menyodorkan sunyi pula kepada saya. Ketika untuk acara Delapan Windu Gontor saya rekomendasikan sebuah nama tokoh nasional, Kiai bilang, "Ah, bagi beliau Gontor ini dekaden. Tidak menyatu dengan masyarakat. Eksklusif. Tidak seperti pesantren-pesantren pilot project LSM yang beliau pimpin yang mengintegrasikan pondok ke masyarakat sekitarnya dengan kerja sama sosial ekonomi, bikin pelatihan pertukangan, pertanian, kerajinan, kewiraswastaan ...."

Kok, ada kiai minder begitu. Kan Gontor juga punya keistimewaannya sendiri: pendidikan bahasa, disiplin, dan "sunah pondok"-nya, tidak NU tidak Muhammadiyah. Santri-santrinya terkenal artikulatif dan kepribadiannya.

Maka, sunyi itu menyeret kaki saya keliling pesantren, bahkan sekelilingnya dalam radius setidaknya lima kilometer. Mata sunyi saya menatapi santri-santri yang sedang sibuk mengurusi toko besi dan perlengkapan bangunan, apotek, rumah sakit mini, huller alias dolognya pondok yang bekerja sama dengan ribuan petani, rumah makan. Mereka mengatur pembelian jasa ratusan penduduk untuk keperluan sehari-hari para santri, masjid-masjid para warok, toko kelontong alias toserba, toko buku. Para santri juga mendirikan bangunan sekolah di sekitar, mengangkuti padi, mendekor seantero pesantren dengan rancangan estetik yang sebebas-bebasnya asal jangan memelihara monyet, pramuka, musik, teater ....

"Ah! Tapi itu bukan inisiatif saya, kok," ujar Pak Kiai malu-malu, "Wong, itu semua ide anak-anak sendiri ...."

Gontor dan dusun-dusun sekitarnya itu small is beautiful, kecil itu indah. Distribusi pendapatan, distribusi ide dan tanggung jawab, kelangsungan bottom up murni tanpa proposal ke lembaga dana di planet Mars untuk proyek konsientisasi, demokrasi yang diinfrastrukturi oleh ilmu tentang batas, akidah, dan ilahiah, lempar tongkat jadi tanaman, bola salju, bola salju, bola salju.

Kiai tak pernah kasih ceramah atau pengajian. Sesudah uluk salam di podium masjid, langsung bilang, "Tolong, saya minta daftar pengaturan rombongan santri yang mengangkuti batu bata untuk sekolahan yang di desa Anu itu ...."

EMHA AINUN NADJIB
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi. 17/XXII/15 - 21 Juni 1991)

0 kata-kata: